Mudik Yang Tidak Selalu Lancar

Analisa

by Redaksi Editor by Redaksi

Sejak kemarin berbagai media mulai menyajikan liputan mudik lebaran. Mudik adalah tradisi Lebaran khas Indonesia. Di belahan bumi lain, khususnya negara-negara Arab dan Timur Tengah yang juga berpenduduk mayoritas muslim, tidak ada tradisi mudik.

Mudik atau pergerakan manusia skala besar dari kota ke kampung halaman memang hanya terjadi di negara yang penduduknya terpusat di kota-kota besar untuk merantau. Saat ada perayaan keagamaan, maka mereka berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Ini terjadi juga di China saat perayaan Imlek.

Tradisi mudik di Indonesia konon sudah ada sebelum zaman Majapahit. Hingga banyak yang menyebut mudik berasal dari bahasa Jawa, yakni “mulih dilik ”atau dalam bahasa Indonesia berarti "pulang sebentar".

Sepanjang sejarah, mudik selalu terjadi setiap tahunnya. Namun, dari sepanjang sejarah itu barangkali mudik tahun 2016 merupakan salah satu yang paling kelam.

Pada 3-5 Juli 2016 adalah puncak arus mudik di tahun tersebut. Ada jutaan orang dari daerah Jabodetabek yang pergi ke daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Beruntung pemerintah saat itu menyediakan tol baru, yakni Tol Pejagan-Pemalang. Tol ini adalah rangkaian tol yang membentang dari daerah Palimanan dan khusus dibangun untuk mengurai kemacetan jalur Pantura.

Sebagaimana namanya, jalan tol diprediksi akan bebas hambatan, sehingga menarik animo masyarakat khususnya kendaraan roda empat untuk melintasi tol Palimanan. Alhasil, di tanggal tersebut jalan tol terpantau ramai.

Hingga akhirnya, 'bencana' pun tiba. Di ujung jalan tol yang belum tersambung itu hanya ada satu pintu tol, yakni Brebes Timur atau biasa disingkat Brexit. Jadi, semua kendaraan menumpuk di sana. Parahnya lagi, tak lama setelah pintu tol ada persimpangan yang mempertemukan arus kendaraan yang datang dari arah Cirebon lewat Pantura. Sehingga pertemuan dua arus itu menimbulkan kemacetan hebat. Jalan tak bisa menampung volume kendaraan.

Mengutip DetikX, panjang kemacetan di jalur Pantura saat itu lebih dari 20 km. Sedangkan kemacetan yang terjadi di jalan tol terbentang sepanjang 25 km, yang mengular mulai exit Tol Brebes hingga Kanci, Cirebon.

Selain karena pertemuan dua arus itu, faktor lain yang membuat kemacetan parah di Brexit ini adalah pihak kepolisian gagal mengantisipasi lonjakan volume kendaraan yang datang secara serentak pada arus mudik 2016. Alhasil, sepanjang jalur kemacetan itu banyak pengendara yang lelah. Mobil-mobil pun banyak yang mogok.

Tercatat ada 17 orang tewas dalam kemacetan ini dan puluhan lainnya dirawat di rumah sakit. Penyebab korban meninggal dunia bermacam-macam, mulai akibat serangan jantung, keracunan karbon dioksida, hingga kelelahan.

Setelah dua hari dua malam, kemacetan akhirnya terurai juga. Ini usai petugas kepolisian memberlakukan one way di Pantura.

Kebijakan Yang Tak Selalu Berjalan Sesuai Harapan

Dari kasus tragedi Brexit 2016 kita mendapat pelajaran, bahwa infrastruktur yang disiapkan oleh pemerintah dengan tujuan memudahkan urusan masyarakat, bisa jadi menimbulkan masalah baru ketika dalam pelaksanaannya tidak memperhitungkan faktor-faktor lain selain persoalan infrastruktur. Faktor-faktor seperti tingkat antusiasme masyarakat untuk mencoba fasilitas baru dan kesiapan otoritas pengatur lalu-lintas kurang diperhitungkan.

Demikian pula berlaku pada kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya. Misalnya dalam hal penanganan WNI yang pulang dari wilayah konflik di Suriah. Pasti akan menimbulkan masalah baru ketika infrastrukturnya belum siap dan ditambah koordinasi antar pihak yang buruk.

Selain itu, pemerintah juga harus memperhitungkan faktor-faktor yang bisa menjadi penghambat ketika mereka kembali ke masyarakat. Adanya penolakan sebagian masyarakat karena stigma, sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak, potensi didekati kembali oleh kelompok ekstrimis, dan seterusnya, harus dipikirkan bersama sejak awal.[abs]

Ilustrasi: By Canva.com

Komentar

Tulis Komentar