Storytelling yang Menggugah Kesadaran Masyarakat Dalam Penangangan WNI Eks ISIS

Analisa

by Arif Budi Setyawan Editor by Arif Budi Setyawan

Storytelling merupakan keterampilan yang sudah ada sejak dahulu kala. Sebelum ada buku, surat kabar, telepon, dan telegram, apalagi internet, nenek moyang kita sudah menceritakan dongeng kepada anak cucunya.

Kita pasti senang dengan cerita yang bagus. Bila mendengarnya, kita akan menyimak, berimajinasi, dan mengingatnya. Bahkan, kita dapat menceritakannya kembali beberapa tahun kemudian bila cerita tersebut berkesan bagi kita.

Dalam bisnis dan politik, kita dapat menggunakan cerita untuk menggambarkan pentingnya inisiatif tertentu, memperkuat nilai tambah suatu produk, atau menekankan alasan pentingnya sebuah organisasi untuk berubah. Metode yang kuno ini ternyata masih efektif untuk membangun kepercayaan dan menggugah orang untuk berubah.

Dalam konteks kampanye pencegahan terorisme, storytelling dapat menjadi metode yang efektif ketika bisa menjadikan para credible voices sebagai storyteller untuk menggugah kesadaran masyarakat. Para credible voices ini bisa menceritakan pengetahuan dan pengalaman mereka secara langsung maupun melalui perantara para aktivis pencegahan terorisme.

Menurut para aktivis pencegahan radikalisme-terorisme, cerita pengalaman para mantan teroris yang mau berbagi kisahnya --kami di KPP menyebutnya sebagai credible voices-- lebih dapat mempengaruhi masyarakat daripada masifnya himbauan dan ajakan memerangi atau mewaspadai ancaman radikalisme-terorisme yang digaungkan oleh pemerintah.

Cerita mengenai bagaimana proses mereka masuk jaringan kelompok teroris, apa yang mereka lakukan selama menjadi bagian dari kelompok teroris, dan bagaimana akhirnya mereka keluar dari kelompok teroris, serta apa kendala mereka setelah keluar dari kelompoknya, akan lebih menggugah kepedulian masyarakat. Karena cerita-cerita itu bisa menjelaskan banyak hal sekaligus masyarakat mendapatkan bukti tak terbantahkan akan bahaya radikalisme-terorisme.

Lalu bagaimana cara memperoleh dan mengolah kisah-kisah dari para credible voices itu agar bisa disampaikan kepada masyarakat?

Idealnya atau yang terbaik adalah si credible voice itu sendiri yang menceritakan ke publik, baik melalui tulisan sendiri, podcast wawancara, atau tampil berbicara di depan publik pada acara-acara tertentu. Karena efek bagi audiens akan lebih kuat bila disampaikan langsung oleh yang bersangkutan. Tetapi ada cara lain yang bisa dilakukan oleh para aktivis pencegahan radikalisme-terorisme, yaitu menuliskan kisah-kisah dari para credible voices di website-website komunitas maupun di media sosial.

Para aktivis pencegahan terorisme bisa menjadi perantara dengan cara menuliskan cerita-cerita dari para credible voices. Tentu saja setelah mereka mengizinkan untuk mempublikasikannya. Atau mengajarkan agar para credible voices bisa menjadi storyteller yang baik.

Untuk memperoleh kisah-kisah dari para credible voices mungkin memang relatif mudah. Namun seringkali tidak semua yang mau bercerita itu mengizinkan kisahnya dipublikasikan. Perlu usaha ekstra untuk memenangkan kepercayaan atau melakukan negosiasi yang menghasilkan win-win solution. Di sinilah kreativitas dan kegigihan seorang aktivis diuji.

Storytelling Kisah-kisah Eks ISIS yang Kembali Ke NKRI

Dalam konteks pembahasan tentang penanganan WNI eks ISIS, kami (KPP/Ruangobrol) telah mengumpulkan kisah-kisah dari para returni eks ISIS sejak 2018. Khusus untuk saya pribadi, saya telah mengumpulkan kisah-kisah dari klien pendampingan saya yang merupakan returni ISIS sejak 2019.

Kini kami akan mencoba menghadirkan kisah-kisah perjalanan para returni itu kembali ke NKRI. Kisah-kisah mereka ini sebagian besarnya merupakan kisah-kisah yang dulu hanya menjadi konsumsi kami sebagai peneliti. Sekarang kisah itu akan kami sampaikan ke publik dengan teknik storytelling yang aman bagi narasumber.

Hal ini merupakan bagian dari upaya kami menumbuhkan kesadaran multi-pihak dalam penanganan WNI eks ISIS yang –hampir pasti-- akan dipulangkan dari kamp pengungsian di Suriah dan sekitarnya. Cepat atau lambat, siap atau tidak siap, mereka yang di kamp pengungsian itu akan dipulangkan. Baik oleh pemerintah kita maupun oleh lembaga internasional.

Kami sebagai aktivis hanya bisa membantu menyiapkan masyarakat dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman kami selama ini dalam mendampingi sebagian retuni dan deportan sejak 2018.

(Iustrasi: Pixabay)

Komentar

Tulis Komentar