Sinopsis Perjalanan Syahrul Munif: NII, ISIS dan Proses Kembali

Other

by Arif Budi Setyawan

... Tetapi masih ada sesuatu yang kosong dalam diri saya. Sesuatu yang terus menghantui saya; saya belum melakukan jihad untuk agama saya”

(Syahrul Munif, buku Kembali Ke Merah Putih, hal. 5)

Kutipan di atas menjadi dasar dari penjelasan Syahrul mengenai alasan kenapa dirinya sampai bersedia berangkat ke Suriah pada 2014. Tapi sebelum sampai pada titik kesimpulan seperti itu, Syahrul telah melalui berbagai pergolakan selama mengikuti berbagai kelompok gerakan Islam selama puluhan tahun.

Di dalam buku ini diceritakan ada tiga fase besar dalam perjalanannya bersama kelompok radikal ekstrem. Yaitu, fase awal terpapar, puncak pergolakan batin, dan bagaimana akhirnya dia kembali. Saya akan menyampaikan sinopsis ringkasnya. Namun, untuk memahami secara utuh, Anda harus membaca bukunya sendiri.

Awal Terpapar

Syahrul berasal dari keluarga terpandang, berkecukupan, dan sangat harmonis dengan kultur Nahdhiyyin (NU) yang kental. Bagaimana bisa dari keluarga yang seperti itu lahir seorang ‘teroris’? Di sinilah menariknya.

Semua cerita berawal dari ketika ia mulai kuliah di Malang di tahun 2002. Sifat dasar Syahrul yang selalu berpikiran terbuka dan haus akan pengetahuan-pengetahuan yang baru membawanya menjadi seorang yang betah berlama-lama di perpustakaan masjid kampus. Rupa-rupanya ada agen dari kelompok Negara Islam Indonesia (NII) yang saat itu diam-diam mengamatinya.

Si agen dengan cepat membaca keingintahuan Syahrul dan pelan-pelan mengajaknya berdiskusi. Pada diskusi itu si agen berhasil menanamkan pemahaman dan pengetahuan baru yang selama ini belum pernah dijumpai oleh Syahrul selama menjadi “kaum tradisional”. Syahrul begitu terpukau dengan pengetahuan baru itu.

Sampai akhirnya ia bersedia melakukan baiat. Setelah melakukan baiat, dirinya kemudian mulai melakukan tugas-tugas yang diberikan. Semakin lama tugas yang diberikan semakin berat dan semakin tidak masuk akal, yang diajarkan – atau lebih tepatnya didoktrinkan-- juga semakin aneh. Yang paling tidak bisa ia terima adalah menurut kelompok yang diikutinya itu, orangtuanya termasuk kafir. Sejak saat itu pelan-pelan ia meninggalkan kelompok tersebut.

Karena sudah terbiasa dengan dunia pergerakan, dia tidak nyaman lama-lama vakum. Dirinya kemudian bergabung dengan kelompok baru yang menurutnya memiliki konsep dan pemahaman yang lebih bisa ia terima. Ketika mulai menemukan ketidakcocokan pada kelompok baru ini, dirinya kembali memutuskan keluar dan bergabung dengan kelompok baru lainnya yang menurutnya lebih baik.

Begitulah hingga akhirnya dari komunitas pengajian terakhir yang diikutinya ada ajakan untuk berjihad di Suriah. Dia merasa dengan turut serta berjihad membantu kaum muslimin di konflik Suriah saat itu akan menjadi puncak karirnya sebagai aktivis Islam.

Puncak Pergolakan Batin di Suriah

Apa yang awalnya ia anggap sebagai ‘puncak karir’ aktivis Islam itu ternyata justru menjadi puncak pergolakan batin di dalam dirinya. Jauh-jauh berangkat ke Suriah berharap bertemu dengan potret praktek beragama yang lebih sempurna, tetapi yang didapatkan justru praktek penyimpangan dalam beragama.

Awalnya dia memang merasa senang dan bangga bisa berhasil datang ke Suriah yang disebut-sebut sebagai bagian dari ‘Bumi Syam’ yang diberkahi. Teks-teks hadits Nabi SAW tentang keberkahan ‘Bumi Syam’ sudah sangat akrab di kepalanya.

Namun, lambat laun dia mulai melihat banyak kejanggalan dan penyimpangan dalam perilaku para tentara ISIS. Mulai dari akhlak keseharian yang lebih buruk dari kaum muslimin di Indonesia, strategi perang yang konyol, mengatur wilayah yang dikuasai dengan tangan besi, hingga penyebaran propaganda yang tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.

Sebab segala penyimpangan dan kecerobohan itu, Syahrul menyimpulkan, kelompok yang seperti itu hanya akan menjadi pengacau. Bukan pejuang yang memperjuangkan Islam.

Di sisi lain dirinya menjadi merasa sangat bersalah karena meninggalkan keluarga untuk sesuatu yang sangat mengecewakan seperti itu. Namun, dia tidak bisa serta merta keluar dan pulang ke Indonesia. Minimal dia harus menyelesaikan kontraknya saat itu, yaitu baru bisa pulang setelah 6 bulan. Selama itu dirinya hanya bisa memendam gejolak perasaannya sambil terus berdoa agar bisa kembali dengan selamat ke keluarga.

Yang paling mengganggunya adalah rasa bersalah kepada orangtuanya. Dia berbohong soal tujuan kepergiannya ke Suriah. Sehingga yang paling dia takutkan saat itu adalah mati ketika masih berjuang bersama kelompok yang salah.

Kembali ke Keluarga

Pada akhirnya, di puncak keresahannya dia menemukan cara terbaik untuk memulai lagi lembaran baru adalah dengan jujur kepada orangtua. Mengakui kesalahan dan meminta maaf serta mohon doa agar bisa segera kembali pulang.

Betapa pun awalnya ayahnya sempat marah, tetapi akhirnya tetaplah menjadi penyelamat bagi anak-anaknya. Maaf dan doa dari orangtua itulah yang diyakininya menjadi pelindung yang membuatnya bisa selamat hingga pulang ke rumah dan melancarkan semua urusan di perjalanan yang sempat beberapa kali menemui hambatan.

Setelah dirinya pulang dari Suriah, banyak hal yang harus diperbaikinya. Kondisi ekonomi keluarga, hubungan dengan keluarga istrinya, dan menjaga diri agar tidak didekati lagi oleh kelompok lamanya. Dirinya beruntung, semua keluarga besarnya mendukung semua upayanya itu.

Harus Dipenjara

Setelah kurang lebih hampir dua tahun sejak kepulangannya dari Suriah, dirinya mulai mapan dengan kehidupan barunya. Usahanya pun semakin berkembang dan telah berhasil melunasi hutang-hutangnya selama ditinggal ke Suriah.

Namun di awal Juni 2017, Syahrul ditangkap oleh Densus 88 untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya karena pernah bergabung dengan ISIS di Suriah. Perlakuan aparat yang sangat menjunjung martabatnya membuatnya sangat kooperatif dalam semua proses penyidikan hingga persidangan. Baginya dipenjara menjadi konsekuensi dari perbuatannya di masa lalu. Ia menganggapnya sebagai bagian dari penebusan dosa.

Fenomena yang ditemuinya dari sesama narapidana teroris di penjara tak kalah mencengangkan dari yang ditemuinya di Suriah. Hal ini semakin membuatnya merasa harus ikut aktif mencegah agar tidak ada lagi orang yang terpapar paham radikal ekstrem seperti dirinya di masa lalu.

Maka ketika sudah bebas dari penjara ada tawaran untuk menuliskan kisah perjalanannya dari terpapar hingga kembali ke jalan yang benar, ia menyambutnya dengan sangat antusias. Dirinya berharap buku “Kembali Ke Merah Putih” ini bisa membantu upaya pencegahan di masyarakat.

Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan inti pesan dari isi buku, yaitu:

“Seradikal dan seekstrem apapun seorang teroris, tetap akan luluh dan kalah oleh keharmonisan dan kasih sayang keluarga”.

Maka, mari kita jaga keharmonisan keluarga kita. Deteksi dini dan pencegahan dari paparan virus pemahaman radikal-ekstrim dimulai dari keluarga. Penyembuhan paling efektif pada orang yang terpapar juga melalui peran keluarga yang harmonis.

(baca juga: Resensi Buku Kembali Ke Merah Putih)

Komentar

Tulis Komentar