Membahas kelompok teror, terutama di Indonesia, seketika stigma kita akan digiring pada bayang-bayang kengerian, kekerasan, penembakan, serangkaian aksi serangan bom, dan setumpuk kisah horor. Namun dari seluruh cerita yang ada, terselip sebuah fakta bahwa kelompok ini tidak pernah bisa akur sekalipun antar sesama jaringan. Bahkan telah terjadi jauh sejak negeri ini masih belajar mengeja tentang ideologi Pancasila.
Kelompok-kelompok radikal, memang memiliki pemahaman jihad yang relatif sama. Namun realitasnya, aplikasi pemahaman jihad ini justru cenderung berbeda.
Misalnya, kelompok puritan Negara Islam Indonesia (NII) yang berdiri sejak 7 Agustus 1949 dan dikomandani oleh Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo. Perseteruan antar puak dan perbedaan pandangan, menyebabkan sebagian anggotanya menyempalkan diri dan membentuk gerbong baru bernama Jama’ah Islamiyah (JI).
Belakangan, penunjukan Abu Bakar Ba’asyir (ABB) sebagai Amir JI menggantikan pelopornya, Abdullah Sungkar, mendapat sejumlah penolakan dari para anggota senior, terutama mereka yang saat itu masih mengenyam pendidikan militer di Afghanistan. Umumnya, mereka menilai penunjukan ABB sebagai Amir tidak berdasarkan hasil mufakat bersama. Ditambah lagi, ABB bukan mantan kombatan atau tidak pernah terjun ke medan jihad (perang) sama sekali.
Memasuki tahun 2000-an, muncul beberapa organisasi lain yang jauh lebih soft dan terbuka dibanding pendahulunya. Walau demikian, organisasi-organisasi ini tetap mengusung narasi yang sama, yakni kampanye tentang Negara Islam atau Khilafah.
Meski di awal nampak optimistis, namun belakangan organisasi tersebut harus goyang oleh berbagai terpaan isu perpecahan. Misalnya, organisasi Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang berdiri sejak tahun 2000 ini, harus goyah pasca ABB yang kala itu sebagai Amir memilih mundur.
Mundurnya ABB ditengarai karena adanya perbedaan sikap di tubuh internal organisasi. ABB yang kecewa MMI, memutuskan untuk mendirikan organisasi sendiri bernama Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) pada awal tahun 2006.
Senasib dengan MMI, JAT pada akhirnya harus menyerah pasca ditinggalkan oleh para anggotanya. Hal ini terjadi setelah ABB menyatakan sikap dukungan dan berbai’at kepada ISIS di Suriah secara sepihak.
Dalam aksi teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok jihad, pun seringkali tidak sejalan dengan pandangan organisasi secara umum. Misal pada kasus rencana pengeboman Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta tahun 2013 silam, tidak semua kelompok saling sepakat dan menyetujui serangan tersebut.
Kelompoknya JI misalnya, menganggap bahwa hal itu merupakan tindakan konyol dan tanpa penghitungan. Jika memang komitmen dengan jihad mereka, seharusnya bisa langsung datang ke sumber konflik tanpa perlu merusak aset publik yang justru hanya akan merugikan diri sendiri dan kelompoknya.
Bagi para simpatisan ISIS, meski sama-sama mendukung konsep Khilafah dan ikut mengambil bai’at, namun tidak terlepas juga oleh adanya pertikaian. Tidak saja dalam hal perbedaan pandangan, bahkan antar kelompok teror ini terkadang saling serang dan baku hantam.
Di Poso sendiri, keberadaan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) hingga saat ini masih menjadi perdebatan di kalangan ikhwan. Sebagian mendukung, namun tidak sedikit pula yang apatis dan menolak aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan selama ini.
Konflik yang ada juga berdampak langsung pada supply dana dan logistik yang mereka terima.
Kondisi seperti ini, jelas berdampak pada keberlangsungan nasib organisasi tersebut ke depan. Di satu sisi, konflik yang ada juga berdampak langsung pada supply dana dan logistik yang mereka terima. Tanpa dukungan itu, kelompok-kelompok bertikai ini nyaris tak lagi memiliki daya dan kekuatan, maupun strategi yang terukur.
Akibatnya, aksi-aksi nekat acapkali menjadi pilihan terakhir di tengah minimnya dukungan dana maupun logistik. Baik aksi yang sekadar untuk mencari perhatian, maupun tindakan kriminal dengan perencanaan yang konyol.
Lalu, bagaimana masyarakat harus menyikapi fenomena ini? Kita tidak boleh menutup mata bahwa kelompok-kelompok ini akan tetap menjadi ancaman bagi keamanan negara dan pemerintah.
BACA JUGA: Pengusung Ideologi Khilafah Ubah Identitas Kelompok
Namun yang perlu menjadi catatan penting, bahwa pemerintah juga tidak bisa sendirian menghadapi ancaman ini. Karenanya, perlu adanya pelibatan dan peran dari berbagai elemen masyarakat guna menangkal berbagai ideologi yang mengarah pada aksi teror. Misalnya, pelibatan individu dalam jaringan sebagai upaya menangkal aksi radikal.
Termasuk adanya peran para credible voices atau orang-orang yang pernah terpapar dan menjadi bagian dari jaringan ini, juga menjadi kunci keberhasilan dalam upaya meng-counter berbagai narasi kekerasan.
Karenanya, perbedaan pandangan dalam jaringan juga mesti dilihat aspek positifnya tanpa harus mengambil sikap skeptis. Sebab terkadang, tidak semua bakteri selalunya bersifat negatif dan merusak. (*)
Komentar