Pelatihan komunikasi itu juga membuat saya kemudian dikenal di kalangan para akademisi yang mengikuti kegiatan pelatihan itu. Sehingga kemudian saya beberapa kali diundang untuk menjadi narasumber pada kegiatan mereka di kampus mereka untuk berbagi pengalaman saya di jaringan kelompok radikal.
Selain itu, melalui oleh Mas Hakim dan Pak Bos Noor Huda Ismail saya kemudian dipromosikan untuk menjadi credible voice dalam kegiatan penelitian dan aktivitas penanggulangan/pencegahan radikalisme/terorisme.
Hal ini membuat rumah saya beberapa kali didatangi para peneliti, jurnalis, dan tim produksi film dokumenter dari dalam dan luar negeri.
Rupa-rupanya kehadiran beberapa peneliti, aktivis, dan jurnalis ke rumah kami membuat orangtua saya bangga. Ada orang-orang yang perhatian dengan saya dan bahkan ada yang membutuhkan saya meskipun saya berstatus mantan napiter.
Sampai di akhir tahun 2018 pencapaian saya adalah: menenangkan hati orangtua, mendapatkan apresiasi yang sudah cukup untuk mengembalikan kepercayaan diri saya, dan mendapatkan orang-orang yang mendukung upaya saya untuk melanjutkan cita-cita menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.
Di awal tahun 2019 saya menetapkan beberapa target dan rencana yang ingin saya capai, yaitu:
Merintis usaha yang akan dikelola oleh mantan murid ngaji saya di Lapas yang baru bebas. Tujuan saya adalah membantu mantan napi kasus narkoba merintis hidup baru dan agar saya memiliki status sosial yang jelas; sebagai pengusaha (hehehe).
Buku Internetistan bisa diterbitkan di akhir tahun 2019. Prosesnya saya tahu tidak mudah, terutama untuk mencari donor yang mau membiayai percetakan dan pemasarannya.
Sampai tahun 2019 berakhir beberapa hari yang lalu, kedua rencana dan target di atas tidak ada yang terealisasi! Seandainya itu terjadi pada Anda, sedih nggak? Tapi saya tidak sedih. Malah senang dan bangga. Aneh ya? Baik, saya jelaskan mengapa saya malah senang dan bangga.
Saya tidak jadi merintis usaha karena dua hal. Pertama, karena mantan murid saya itu tidak diizinkan oleh ibunya untuk merantau, padahal tadinya ingin sekali merantau untuk menjauhi pergaulan yang rentan membawanya kembali ke dunia peredaran narkoba. Saya pikir hal itu bagus juga, untuk membuktikan kepada ibunya bahwa ia sudah jadi anak yang baik.
Kedua, perkataan Doktor Noor Huda Ismail kepada saya yang kurang lebih isinya seperti ini:
“Antum ini punya kemampuan komunikasi dan membangun relasi yang cukup bagus, punya bakat menulis, cepat belajar, dan senang bertemu dengan orang-orang atau hal-hal yang baru. Mengapa tidak mencoba menekuni bakat dan apa yang antum sukai itu?
Di dunia penanganan isu radikalisme/terorisme ini masih banyak celah yang masih kosong. Antum mau jadi peneliti bisa. Mau jadi penulis spesialis isu ini bisa. Mau jadi konsultan juga bisa. Ada banyak hal yang antum miliki tapi tidak dimiliki oleh para pegiat isu radikalisme/terorisme yang ada saat ini.
Jika antum berminat terjun di isu ini dengan peran yang bisa antum pilih sesuai dengan passion antum, saya siap membantu untuk mengeluarkan semua kemampuan terbaik antum. Dan jika antum masih bersikeras mau punya usaha roti, saya juga akan bantu.
Tapi cobalah pikirkan dampak positif atau efek kemanfaatan bagi orang lain. Mana yang lebih besar, antara sekedar jadi pengusaha roti yang punya karyawan murid ngajinya atau menjadi credible voice yang semakin didengar ide-ide dan pemikirannya?”
Kata-kata itu membuat saya berfikir ulang. Saya mulai mempertimbangkan kemanfaatan apa yang bisa saya peroleh sekaligus saya berikan jika saya memilih untuk lebih mengeksplorasi sisi intelektual. Akhirnya saya menemukan sebuah kegiatan yang akan semakin mengasah intelektual sekaligus dapat memperluas relasi sosial saya.
(Bersambung)
ilustrasi: pixabay.com
Komentar