Terorisme vs Korupsi

Other

by Arif Budi Setyawan

Terorisme pada hari ini menjadi sebuah bahasan yang sangat seksi. Banyak akademisi yang terarik untuk mengkaji dan meneliti soal terorisme ini lebih dalam. Ada yang dari perspektif psikologi, keamanan, sosial, intelijen, politik, hubungan internasional, bahkan ada yang dari perspektif kajian gender.


Di beberapa universitas sampai membuka program studi khusus untuk mengkaji persoalan terorisme ini. Untuk lembaga penelitian malah lebih banyak lagi. Semakin hari semakin banyak bermunculan.


Pemberitaan seputar terorisme juga selalu menarik di kalangan jurnalis. Mulai dari penangkapan, sidang pengadilan, sampai pemindahan narapidana terorisme (napiter) ke lembaga pemasyarakatan (lapas) atau bebasnya napiter selalu saja menarik jadi berita. Bahkan seringkali menjadi headline pemberitaan sampai berhari-hari pasca sebuah kejadian kasus terorisme.


Masyarakat awam yang sehari-hari lebih sering berhadapan dengan ancaman kriminal atau kejahatan umum seringkali menganggap pemberitaan soal terorisme itu berlebihan. Apalagi masyarakat yang berada di daerah yang infrastrukturnya tidak layak dan lebih disibukkan dengan kesulitan ekonomi, akan merasa kasus terorisme itu dilebih-lebihkan. Bahkan mungkin di antara mereka ada yang malah senang ada serangan teroris yang menyasar aparat negara yang mereka anggap selama ini mengabaikan nasib mereka.


Pernah suatu ketika saya mendengar komentar salah satu pengunjung kedai kopi terhadap berita di TV tentang sebuah serangan teroris terhadap aparat kepolisian. Yang sampai ada wawancara dengan beberapa pakar terkait kasus tersebut.


“Pemerintah kita ini kelihatannya lebih peduli pada kasus terorisme yang korbannya sedikit banget daripada kasus korupsi. Padahal korupsi itu korbannya lebih banyak dan lebih terasa untuk jangka panjang. Bayangkan, misalnya jalan yang banyak berlubang karena kualitas pengerjaannya rendah akibat biayanya dikorupsi yang baru setahun kemudian diperbaiki. Maka setiap orang yang terganggu dengan jalan berlubang itu dan kecelakaan yang terjadi karena jalan berlubang itu, semua karena korupsi. Belum lagi korupsi di bidang yang lain. Hampir semua bidang ada koruptornya. Kementerian Agama yang isinya para sarjana agama saja ada korupsinya kan ?,”


“Soal korban yang mati karena teroris pun jauh lebih banyak berlipat-lipat kali korban kejahatan yang lain. Korban mati karena begal dan perampokan jauh lebih banyak. Dan korbannya tidak ada yang pernah dapat santunan dari negara. Sedangkan teroris itu yang diserang apara negara yang kalau mati pun anak istrinya masih dapat santunan dari negara”


Begitu ujar si bapak itu dengan bersemangat dan dengan intonasi yang mengindikasikan dia agak kesal. Dia tidak tahu ada mantan teroris di dekatnya. Dan saya diam saja mendengarnya.


Dari perkataan si bapak itu saya jadi membenarkan pendapatnya itu. Benar juga. Saya juga jadi bertanya-tanya. Mengapa lembaga penelitian untuk korupsi itu masih sangat sedikit ? Mengapa kampanye pencegahan korupsi itu tidak semasif kampanye pencegahan terorisme ? Mengapa di sekolah-sekolah dan kampus-kampus lebih sering diadakan kegiatan kampanye pencegahan terorisme dibanding korupsi?


Padahal perilaku suka berbohong, tidak tepat waktu, suka ngeles, mementingkan diri sendiri, menggunakan buku bajakan, dan lain-lain yang sangat lazim terjadi pada generasi muda kita adalah perilaku yang mengarah pada korupsi. Mengapa sedikit sekali yang peduli pada ancaman bahaya laten korupsi?


Mengapa untuk radikalisme-terorisme sudah menjadi perhatian pemerintah yang sangat serius sekali dan bahkan sejak pendidikan usia TK pun sudah dipantau bibit-bibit radikalisme-nya ? Mengapa tidak dilakukan hal yang sama untuk bibit-bibit perilaku korup?


Terorisme dan korupsi adalah sama-sama extra ordinary crime. Maka seharusnya kepedulian kita pada keduanya sama besar.


Ini adalah opini seorang mantan napi kasus terorisme yang sedang galau melihat fenomena korupsi di negeri ini.


ilustrasi: pixabay.com


Komentar

Tulis Komentar