Pesona Pesantren Terafiliasi Kelompok Jamaah Islamiyah (4)

Other

by Arif Budi Setyawan

[caption id="attachment_13579" align="aligncenter" width="768"] Mantan terpidana kasus terorisme, Ustaz Abu Bakar Ba'asyir bersama para santri bakal melaksanakan upacara HUT Kemerdekaan Republik Indonesia di Halaman Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah pada Rabu, 17 Agustus 2022.[/caption]

Visi Misi Pesantren Terafiliasi Jamaah Islamiyah Beserta Kelebihan dan Kekurangannya


Dalam sistem pola perjuangan Jamaah Islamiyah versi lama (sebelum era Parawijayanto) yang saya ketahui, dalam membaca potensi umat Islam ada empat (4) kategori umat Islam yaitu: Multazim, pendukung, simpatisan, dan netral.


Multazim atau anggota Jamaah Islamiyah (JI) adalah inti dalam lingkaran gerakan, yaitu orang yang setuju dan siap berjuang serta bergabung dengan JI.


Pendukung adalah lapisan kedua dari lingkaran, yaitu orang bukan anggota tetapi setuju dan siap membantu perjuangan JI.


Simpatisan adalah lapisan ketiga dari lingkaran, yaitu orang yang menyetujui cita-cita Jamaah Islamiyah tapi hanya membantu pada bagian yang sejalan dengan pemikiran orang tersebut.


Kemudian di lingkaran terluar atau golongan keempat adalah netral, yaitu umat yang tidak mendukung tapi juga tidak memusuhi.


Maka minimal keberadaan anggota JI ketika ada di masyarakat dalam perilaku sehari-hari itu minimalnya, orang-orang di sekitarnya bersikap netral, yaitu tidak mendukung tapi juga tidak memusuhi.


Dari sini bisa diketahui bahwa tujuan minimal yang ingin dicapai oleh kader-kader JI melalui pendirian pesantren adalah menciptakan masyarakat menjadi golongan yang netral. Sambil melakukan proses di internal mereka untuk mendapatkan sosok-sosok yang bisa masuk kategori simpatisan, pendukung, dan yang bisa direkrut menjadi anggota JI.


Dengan mengadopsi kurikulum Pesantren Darussalam Gontor dalam pelajaran Bahasa Arab/Inggris, itu menjadi branding dan positioning yang cukup sukses menggaet santri di daerah. Bayangkan, masyarakat di daerah bisa mendapatkan kualitas pendidikan pesantren setara dengan Darussalam Gontor dengan biaya yang jauh lebih terjangkau. Itu tentu sangat membantu bagi masyarakat kalangan bawah di daerah.


Saya pernah mewawancarai beberapa wali santri ketika menghadiri acara wisuda di salah satu pesantren terafiliasi JI di Lampung. Yang saya tanyakan adalah apa alasan mereka memilih pesantren tersebut.


Semua sepakat menjawab mereka tertarik dengan kualitas alumninya. Yang ketika pulang ke rumah bisa berbahasa Arab/Inggris, ngaji-nya bagus, bisa berpidato tiga bahasa, menguasai beberapa ketrampilan, dan dalam praktek beragama juga cukup moderat.


Lalu saya tanya lagi, bagaimana sikapnya setelah mengetahui bahwa pesantren itu dikaitkan dengan kelompok Jamaah Islamiyah?


Jawaban mereka juga kompak. Menurut mereka itu kesalahan pribadi oknum, untuk pesantrennya tidak ada masalah. Mereka masih percaya dan masih akan mendaftarkan anak-anak mereka ke pesantren itu.


*****


Dalam sejarahnya, anggota Jamaah Islamiyah yang berasal dari pesantren afiliasi ini selalu lebih sedikit bila dibandingkan yang berasal dari luar pesantren. Namun untuk level netral dan simpatisan mungkin ada banyak.


Apalagi di era JI di bawah kepemimpinan Parawijayanto, perekrutan alumni pesantren menjadi anggota JI melalui program yang lebih ketat lagi.


Ada program yang disebut MBM (Multazim bin Multazim), yaitu program perekrutan yang dimulai dari meminta anggota JI untuk mengirimkan anak laki-lakinya ke pesantren-pesantren yang direkomendasikan oleh FKPP-JI. Lalu ketika di pesantren, anak-anak itu akan diseleksi untuk direkrut menjadi anggota. Ada sebagian kecil yang memenuhi syarat dan ada sebagian (besar) yang tidak memenuhi syarat.


Melakukan perekrutan di pesantren adalah salah satu kesalahan besar yang dilakukan oleh Jamaah Islamiyah di era Parawijayanto. Karena yang direkrut dari pesantren ini mayoritas kemudian diberi pelatihan khusus untuk dilibatkan dalam jihad global di Suriah. Hal ini semakin memperkuat bukti bahwa pesantren-pesantren memang itu terafiliasi dengan JI.


Di samping itu, ada juga yang ketika menjadi santri di pesantren afiliasi JI tidak memenuhi syarat atau alumni pesantren sebelum ada program MBM, yang kemudian direkrut menjadi anggota JI melalui jalur kaderisasi di luar pesantren. Yang seperti ini masih lebih baik daripada yang direkrut melalui program MBM.


Dan sebagai informasi tambahan, program MBM itu tidak diketahui secara resmi oleh pesantren tempat santri yang masuk program MBM. Hanya penanggung jawab atau koordinator program yang mengetahuinya. Pesantren tempat santri program MBM belajar juga tidak memperlakukan khusus si santri. Hanya setelah lulus, santri program MBM akan diambil oleh “petugas program” untuk mengikuti kegiatan “pembekalan tambahan” bersama para santri program MBM dari berbagai pesantren.


Kegiatan “pembekalan tambahan” itu biasanya merupakan rangkaian tes seleksi. Bila tidak memenuhi syarat, akan dikembalikan ke pesantren asal untuk penugasan pengabdian reguler. Bagi yang memenuhi syarat, akan diikutkan program khusus yang lebih intensif.


*****


Dari penuturan beberapa wali santri yang sempat saya wawancarai di atas, bisa diperoleh gambaran bahwa sebenarnya masyarakat yang mengetahui dengan baik tetap memandang positif pada pesantren tersebut. Namun persoalannya justru dari pihak-pihak yang selama ini tidak tahu-menahu tentang pesantren tersebut. Mereka yang tidak tahu-menahu ini lantas memiliki persepsi negatif. Parahnya, persepsi negatif ini kemudian disebarkan tanpa proses tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu.


Lalu bagaimana kelanjutan masa depan pesantren-pesantren yang sempat terafiliasi dengan kelompok JI setelah adanya fenomena islah di berbagai daerah?


(Bersambung)

Komentar

Tulis Komentar