Mohamed Salah

Other

by Administrator

Oleh : Lathiful Khuluq, Ph.D*

Saya menonton laga pertama semifinal Liga Champions dari layar televisi, saat Liverpool menang atas AS Roma, 5 - 2, Rabu (25/4/2018) dini hari WIB.

Mohamed Salah membawa bola begitu cepat. Pada suatu detik, ia dijegal dari belakang. Ia jatuh. Lalu bangkit berdiri. Tapi segaris senyum masih ada di wajahnya. Bahunya terangkat dan tangannya memberi isyarat yang bisa ditafsirkan "apa boleh buat".

Dibandingkan dengan para pemain lain yang marah bila kena, atau terjungkal, atau mengaduh-aduh bila terganjal, Mohamed Salah asal Ngagrik, Mesir ini meletakkan dirinya dalam satu kategori lain. Dialah sang superstar.

Salah pasti tahu ratusan juta mata menyaksikan dan menilainya di pertandingan itu. Ia tahu lapangan hijau Stadion Anfield, Liverpool adalah pentasnya yang paling anggun.

Dia toh tahu dia bukan pemain yang bakal tidak tercatat dalam sejarah sepak bola dunia. Dalam usianya yang 25 tahun, dialah justru si pembuat tugu sejarah: kesebelasan Liverpool mendekati posisi ke final di kota Kiev.

Tidak mudah untuk terganjal jatuh tapi tersenyum. Salah bagaikan Mozart di lapangan bola. Kerja bola yang kasar diolahnya menjadi _repertoir_ yang indah. Operan Salah demikian indah, memikat, dan enak disantap. Dari dia, bola jatuh persis di depan kaki rekan-rekannya, seakan tidak luput satu milimeter pun.

Rabu dini hari WIB itu Salah dengan sangat menawan mencetak dua gol. Ia juga menyumbang dua _assist_ untuk rekannya Mane dan Firmino.

Ketika Stadion Anfield pecah dengan sorak sorai bergemuruh karena dua gol Salah yang bersarang di gawang AS Roma. Ia terlihat menundukkan kepala dan menolak selebrasi yang berlebihan. Ia nampak masih menghormati bekas klubnya yang dulu memberinya nafkah.

Komentar pers Inggris menggambarkan Salah sebagai pemain besar yang bergaya hidup baik dan rendah hati. Ia tak pernah sekali pun nongkrong di bar-bar melewatkan malam dengan bercinta dengan foto model-foto model setempat. Di dalam pesawat di setiap perjalanan pulang ke Inggris setelah laga kemenangan ia tak berulah seperti rekan-rekannya yang mabuk-mabukan. Di dalam pesawat, ia membaca kitab suci Al Qur'an sambil ditemani secangkir kopi susu panas. Demikian juga setiap acara kunjungan dari para istri atau teman wanita _("sex bomb" )_ di hotel, Saleh selalu dikunjungi istrinya Magi yang selalu tampil cantik berhijab dan anaknya Makka (4 tahun).

Maka fan Liverpool tidak hanya memuji Salah sebagai penyerang hebat. Tapi mereka juga menyatakan diri bakal menjadi Muslim dan ikut aktif bersama Salah di masjid _(TEMPO_, 4/3/2018). Bahkan pelatihnya sekarang, Juergen Klopp, mengatakan bahwa Salah adalah pemain bintang, yang membaca kitab suci agamanya dan mengamalkannya serta mempraktikkan hukum-hukumnya.

Di Mesir, Salah menjadi idola anak-anak muda. "Aku ingin seperti Mohamed Salah ketika besar nanti," ujar Mohamed Abdel, bocah berusia 12 tahun dari desa Nagrig. Dan berkat bola, Salah mampu membangun rumah sakit modern di desanya Nagrig serta memberikan bantuan untuk pendidikan kaum papa di desa asalnya Nagrig dan Mesir.

Di Inggris, fan Liverpool dengan riang berteriak bersama-sama: _Assalamu'allaikum_, Salah, _we need you!_

Ketika di mana dakwah dengan sikap dan tindakan lebih di butuhkan dari pada dengan lisan

*Maka, dakwah dengan ahlak dan adab yang baik bisa mengalahkan 1000 majelis ilmu tentang ahlak*

Orang menyebutnya sebagai keteladanan.
*penulis adalah peneliti CISForm UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan menjadi dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sumber foto : https://www.independent.co.uk/sport/football/premier-league/mohamed-salah-liverpool-goals-trophies-ian-rush-greater-impact-a8270531.html

Komentar

Tulis Komentar