Ini tulisan ringan berdasarkan diskusi atau obrolan sambil sarapan bersama istri saya beberapa hari lalu. Diskusi berawal dari istri mengomentari penggalangan dana untuk warga Palestina yang dilakukan oleh dai kondang Ustaz Adi Hidayat. Di mana dalam beberapa hari saja bisa terkumpul dalam jumlah milyaran. Namun ada beberapa pihak yang nyinyirin hal itu.
“Berarti umat Islam di Indonesia itu sebenarnya kaya ya Mas?,” begitu celetuk istri saya mengawali obrolan di pagi itu.
Saya pun spontan menanggapinya, “Bukan kaya, tapi solidaritasnya yang tinggi. Dalam urusan memberi bantuan, masyarakat Indonesia itu paling mudah tersentuh sisi emosionalnya. Ingat gerakan koin untuk Prita pada tahun 2011? Atau gerakan penggalangan dana yang mengeksploitasi kisah sedih yang marak belakangan ini?”
“Kalau bicara kisah sedih, tetangga kita masih banyak yang hidup kesusahan. Mungkin sebenarnya tetangga dari orang-orang yang berinfak untuk Palestina itu juga masih banyak yang membutuhkan. Tapi kenapa jika untuk Palestina bisa secepat itu terkumpul? Ini mengalahkan penggalangan dana untuk korban bencana alam di Indonesia lho. Memang terkumpul banyak, tapi tidak secepat ini,” ujar istri saya lagi.
Saya terdiam sambil mengunyah makanan. Dan menyuapkan nasi lagi karena belum dapat jawaban. Dalam hati saya berkata,”bener juga, kenapa ya? Kritis juga emaknya anak-anak ini”
Setelah menyelesaikan suapan ketiga, baru saya menjawabnya.
“Inilah bukti bahwa isu Palestina ini telah begitu mendarah daging di benak umat Islam. Kita merasa meskipun kita boleh jadi masih hidup susah di negeri ini, tapi kita hidup di negara yang merdeka yang aman. Sedangkan warga Palestina itu masih berada dalam ‘penjajahan’ Israel. Semua atau hampir semua aktivis kemanusiaan di seluruh dunia kompak membela Palestina. Jadi, ketika Israel berulah, tiba-tiba kita semua marah. Dan energi kemarahan itu kemudian ditunjukkan dengan memberikan bantuan spontan. Tiba-tiba semua ingin menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Palestina tidak sendirian.”
“Kok kita nggak ikut mengirimkan donasi untuk Palestina?,” tanyanya lagi mencoba meminta pembuktian dari uraian saya. Terdiam lagi saya.
“Pengin sih. Tapi bukan prioritas untuk saat ini. Kita masih punya kewajiban birrul walidayn yang masih sangat kurang. Ini fardhu’ain. Sedangkan membantu saudara kita di Palestina itu fardhu kifayah. Kita ber-husnuzhon (berprasangka baik) bahwa orang-orang yang berinfak ke Palestina itu telah menunaikan kewajibannya dengan baik. Kita patut berbangga atas apa yang mereka lakukan. Minimal kalau ada yang nyinyirin ustaz Adi Hidayat soal penggalangan dana ini, kita ada di barisan pembelanya ,” ujar saya seraya membereskan piring dan bekas makan.
“Ya, semua orang punya prioritas masing-masing dalam berinfak. Semua punya alasan masing-masing ketika mempertanggungjawabkan pilihannya di hadapan Allah SWT kelak. Orang-orang yang nyinyir itu pun seharusnya bertanya pada dirinya, sudah berapa infaknya untuk orang-orang yang membutuhkan di sekitarnya. Bukan malah nyinyirin amal orang lain,” pungkas istri saya seraya beranjak membawa piring-piring kami ke dapur. Kelihatan ia masih jengkel dengan para penyinyir itu.
Obrolan kami sebenarnya panjang, dan tidak seperti itu kata-kata aslinya, tapi saya ambil pokok-pokoknya dan menyajikan dengan bahasa yang mudah dimengerti.
Poin terpentingnya adalah, bahwa kami belum bisa berinfak untuk saudara kami di Palestina, tapi kami juga tidak suka dengan orang yang nyinyir atas amal yang dilakukan oleh orang lain.
ilustrasi: pixabay.com
Komentar