Wildan Mukhollad: Kupersembahkan Kesyahidanku untuk Ibu (4)

Tokoh

by Kharis Hadirin

Selama menjadi santri di Ponpes Al Islam, Wildan Mukhollad selalu tampil menjadi juara kelas. Baginya, mendapat ranking pertama di kelas bukan sesuatu yang asing. Bahkan jauh sebelum ujian kelas dimulai pun, sudah bisa ditebak siapa nanti yang akan muncul sebagai juara kelas.

Tidak hanya sebagai juara kelas, bahkan Wildan sudah hafal Al-Quran 30 juz ketika menginjak kelas 3 KMI atau Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (setara 3 SMP) saat usianya baru menginjak 15 tahun.

Tentu bukan pencapaian mudah, mengingat sistem pendidikan di Al Islam kala itu bukanlah pesantren yang hanya fokus pada penghafalan Al-Quran semata.

Berbagai pujian datang silih berganti atas prestasi yang berhasil diraih Wildan, tak terkecuali bagi Ustadz Zulkifli, guru Matematika dan Fisika yang sudah mengajar di Al Islam sejak awal berdiri tahun 1993 lalu. Tak sekedar pujian, bahkan oleh Ustadz Zulkifli, Wildan hendak dijodohkan dengan putrinya yang saat itu masih berstatus sebagai santriwati di pesantren yang sama.

Tak jauh berbeda dari Wildan, putri dari Ustadz Zulkifli ini prestasi akademiknya juga moncer. Sebelum masuk ke Al Islam, ia sempat sekolah di SMP Negeri 01 Pucuk, Lamongan.

Menjelang kelulusan, dirinya bukan saja tampil sebagai juara kelas, namun juga menjadi juara umum. Nilai ujiannya tertinggi di sekolah, jauh meninggalkan ribuan siswa-siswi yang lain. Dan ketika menjadi santriwati di Al Islam, ia melesat jauh meninggalkan teman-temannya sekelas yang masih belepotan nilainya.

Jika Wildan tampil sebagai juara kelas di kalangan santri putra (santriwan), sebaliknya putri dari Ustad Zulkifli ini berhasil ‘memporak-porandakan’ zona zaman santri putri (santriwati). Nilainya selalu sempurna, bukan saja di satu mata pelajaran, tapi seluruhnya.

Angka 9, tak ubahnya seperti makhluk antah berantah sebab tak pernah muncul dalam nilai rapornya. Bahkan sering para ustadz atau ustadzah meninggalkan catatan kaki di lembar jawaban miliknya. Jika tidak teguh pada prinsip tut wuri handayani, mungkin mereka tak ragu memberikan nilai 200 atau mungkin 1000.

Karuan saja, santriwati lain yang melihat daftar nilai-nilainya pasti akan terteror mentalnya. Malas belajar bukan saja akan mendapat nilai rendah atau terancam gagal ujian, tapi juga mempertontonkan kebodohan. Jadilah tergopoh-gopoh mereka mengejar ketertinggalan.

Jika Wildan ‘loyo’ di materi eksakta. Sebaliknya, putri Ustad Zulkifli ini justru girang tak karuan setiap kali pelajaran Matematika dan Fisika. Seluruh teori dikunyahnya seolah tanpa beban sama sekali.

Keduanya bak energi Yin dan Yang dalam konsep filosofi Tionghoa yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan sifat kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan di dunia ini dan bagaimana mereka saling membangun satu sama lain. Atau seperti pengendali elemen air dan api dalam serial Avatar: The Legend of Aang.

Mereka saling mendominasi di medannya masing-masing. Wildan Mukhollad secara berturut didapuk sebagai juara umum di kalangan santri putra dengan nilai rata-rata ujian paling tinggi. Sebaliknya di lokasi yang berbeda, putri dari Ustadz Zulkifli juga tampil sebagai juara umum di kalangan santriwati.

Kesempatan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Ustadz Zulkifli dengan menjodohkan Wildan dengan anaknya jauh-jauh hari, bahkan ketika keduanya masih berstatus santri.

Mendapat tawaran tersebut, Wildan saat itu sempat mengaku bimbang. Pasalnya, dia sendiri setelah lulus dari Al Islam ingin melanjutkan pendidikan ke Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Di satu sisi, ia juga tidak bisa menolak tawaran tersebut. Di samping karena segan dengan Ustadz Zulkifli, ia secara sembunyi-sembunyi menanam rasa cinta pada putri sang ustadz tersebut. Terutama setelah mengetahui reputasinya akademiknya yang cetar membahana. Saat mengetahui bahwa tidak ada sosok santri lain di Al Islam yang baginya susah untuk dikejar prestasinya kecuali putri sang ustadz, maka semakin jatuh hatilah dirinya.

Meski cintanya kian bersemi, namun pantang baginya untuk mencari celah bertemu dengan sang pujaan hati. Sebab baginya, pondok pesantren adalah ‘penjara suci’ yang tidak boleh ternodai oleh cinta semu dua insan muda hingga waktu pertemuan nanti.

Karena itu, kepada Ustadz Zulkifli, Wildan berpesan jika nanti berhasil menyelesaikan pendidikannya di Al Islam dengan baik dan tanpa halangan, ia akan datang ke rumah meminang sang putri.

Menjelang 2010, kondisi perekonomian keluarga Wildan memaksanya untuk berhenti dari Al Islam. Dengan tidak adanya supply dana untuk biaya pendidikan, Wildan kelimpungan.

Diakui bahwa selama ini biaya pendidikan Wildan selama di Al Islam lebih banyak ditanggung oleh kakaknya. Sementara orang tua, terutama pihak ayah, jauh hari sudah berlepas tangan untuk semua kebutuhannya. Wildan sendiri tidak bisa berbuat banyak selain hanya bergantung pada saudara dan keluarga.

Di waktu yang sama, rupanya Wildan juga menerima tawaran untuk pindah ke Mesir dan mengikuti saudaranya yang masih tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Al Azhar Kairo. Melalui koneksi dari saudaranya ini, nantinya Wildan juga bisa melanjutkan pendidikan di sana (Mesir).

Dengan adanya iming-iming tersebut, sekitar akhir 2010, Wildan Mukhollad akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan di Al Islam dan menyusul saudaranya ke Mesir.

Dan inilah kali pertama perjumpaan Wildan Mukhollad dengan dunia luar, bersentuhan dengan berbagai pelajar dan mahasiswa dari berbagai dunia Islam. Dan jalan ini pula yang nantinya akan menghantarkan Wildan menuju operasi Istisyhadiyah, menjadi martir pelaku bom bunuh diri di Fallujah, Irak.

(Artikel ini merupakan pengalaman pribadi sang penulis yang merupakan senior dari Wildan Mukhollad semasa belajar di Ponpes Al Islam Tenggulun, Lamongan)

Komentar

Tulis Komentar