Keputusan orang tuanya berpisah membuat semangat belajar Wildan Mukhollad limbung. Ia yang tadinya dikenal di kalangan teman-temannys sebagai pribadi yang riang dan senang bergaul, mendadak tertutup dan sering nampak murung.
Baginya, terlalu hijau untuk mengerti sebuah biduk rumah tangga. Namun melihat orang tuanya hidup terpisah bukan karena kematian, jelas membuat dirinya terpukul. Terlebih di saat dirinya dipaksa harus memilih hidup bersama ayah atau dengan ibunya.
Menanggalkan berbagai fasilitas mewah dari ayahnya, tentu bukan perkara mudah. Sementara Wildan yang sejak usia dini mendapat perhatian dan didikan kasih dari ibunya, jelas tidak tega meninggalkan perempuan yang telah melahirkannya untuk hidup sebatang kara.
Wildan akhirnya memilih untuk hidup bersama sang ibu. Dan semenjak itu, kehidupannya berubah total. Meski ibunya berusaha untuk menahannya agar tidak tinggal bersama, bukan karena tidak cinta melainkan kondisinya yang tidak memiliki harta benda. Toh, ayah Wildan sudah memiliki tambatan hati yang lain.
Harta benda berharga di rumah kecil ibunya hanyalah selembar sajadah dan mukena yang ia gunakan sehari-sehari untuk bermunajat kepada-Nya, dan sebuah radio tua yang terletak lesu di atas lemari kayu.
Meski hidup dalam keterbatasan, hal itu tak menjadikan Wildan bermuram durja dan meratapi nasibnya. Ketulusan cinta dan kasih sayang seorang ibu, berhasil mengumpulkan kembali serpihan semangatnya untuk bangkit mengejar mimpi dan menatap cita-citanya.
Di usia yang begitu muda, Wildan sering terpekur menikmati lembaran demi lembaran buku yang dibacanya. Baginya, buku tidak saja sebagai lautan samudra yang tak berujung dasarnya, namun juga sahabat karib yang tak pernah melukai hatinya.
Benar kata orang, usaha takkan pernah menghianati hasil. Di penghujung akhir kelulusan Sekolah Dasar, nama Wildan Mukhollad berdiri tegap di barisan depan sebagai peringkat pertama.
Memilih NU atau Muhammadiyah
Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan di tingkat dasar dengan baik, persoalan baru muncul. Kedua orang tua Wildan, masing-masing memiliki pilihan yang berbeda untuk pendidikan selanjutnya meski mereka hidup terpisah.
Sang ayah bersikeras bahwa Wildan harus masuk ke pondok pesantren Nahdiyin. Sementara sang ibu menolaknya dan berharap agar Wildan dimasukkan di sekolah Muhammadiyah saja.
Wildan yang sejak awal cenderung lebih dekat dengan ibunya, memilih untuk bersekolah di Muhammadiyah. Jelas saja keputusan ini membuat ayahnya murka. Ia mengancam, jika Wildan tidak menuruti keinginannya maka sang ayah tidak akan membayar seluruh kebutuhan biaya pendidikannya, termasuk memberikan uang jajan.
Ibarat pukulan telak, mendapat ancaman seperti itu, ibu Wildan tak mampu berbuat banyak. Ia pasrah.
Beruntung, di saat seperti itu, kakak Wildan merasa iba dengan ibunya. Kepada sang ibu, ia bersedia menanggung semua biaya pendidikannya agar sang adik bisa melanjutkan sekolah tanpa harus menanggung beban mental dari ayahnya.
Kebetulan sang kakak mengenal baik seorang ustadz yang juga guru di sebuah pondok pesantren yang tak jauh dari rumahnya di Desa Payaman, Lamongan. Kepada kawannya tersebut, kakak Wildan menceritakan kondisi yang kini tengah dihadapi.
Siapa menduga, sang ustadz yang juga kawan karibnya begitu antusias mendengar kisah Wildan dan hiruk pikuk keluarganya. Ia menawarkan agar Wildan dimasukkan ke pondok pesantren tempat di mana sang ustadz mengajar. Toh, persoalan biaya nantinya bisa diatur bersama. Di satu sisi, sang ustadz juga bisa menjadi wali santri Wildan, termasuk memenuhi berbagai kebutuhan jika sedang dalam kesulitan.
Dan tentu kabar baik ini segera disampaikan kepada sang ibu, juga Wildan. Mereka cukup senang, di samping bisa masuk ke pesantren yang diinginkan, juga pihak keluarga terutama orang tuanya tak perlu pusing memikirkan biaya pengeluaran yang cukup besar.
Dan pada 2006, Wildan Mukhollad resmi menjadi santri di Pondok Pesantren Al Islam Tenggulun, Kec. Solokuro, Kab. Lamongan.