Menjelang 2006, Wildan Mukhollad resmi tercatat sebagai santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Islam Tenggulun, Lamongan.
Bagi masyarakat Lamongan, nama Ponpes Al Islam sendiri kurang begitu populer dibanding dengan nama-nama pesantren lain di kawasan pesisir utara Lamongan. Sebut saja ada Ponpes Sunan Drajat pimpinan KH. Abdul Ghofur atau Al Islah Sendang Paciran, keduanya memiliki jumlah santri hingga belasan ribu.
Nama Al Islam menjadi banyak perbincangan khalayak ramai justru pascaperistiwa Bom Bali pada 12 Oktober 2002.
Tentu ini bukan soal prestasi akademik, melainkan para pelaku utama dalam peristiwa serangan bom di Bali tersebut diketahui berasal dari pesantren ini. Seperti Mukhlas alias Ali Ghufron dan Amrozi, pelaku utama yang dihukum mati pada 2008 silam, diketahui sebagai pengasuh Ponpes Al Islam dan warga asli Desa Tenggulun. Dan ketika disebut Ponpes Al Islam, orang lebih familiar dengan menyebutnya sebagai ‘Pesantren Amrozi’ daripada nama Al Islam itu sendiri.
Karena reputasi tersebut, keluarga yang mengetahui bahwa Wildan menjadi santri di Ponpes Al Islam merasa kecewa dan kaget. Mereka mempertanyakan keputusan untuk memilih Al Islam bagi pendidikan Wildan, sementara banyak pesantren lain yang dianggap memiliki akreditasi dan reputasi yang baik.
Namun tidak demikian bagi Ibu Wildan. Ia tidak mempersoalkan atas pilihan tersebut, toh jarak antara Ponpes Al Islam dengan rumah relatif dekat dan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Ini memungkinkan bagi keluarga untuk membesuknya di pesantren setiap saat. Di sisi lain, juga masih ada saudara-saudara yang nantinya bisa membimbing Wildan setiap saat. Selain karena faktor ekonomi tentunya.
Santri jenius
Meski secara usia terbilang dini, namun Wildan Mukhollad bisa memahami jika keputusan dirinya dan orang tua untuk masuk di Al Islam banyak mengalami penolakan dari keluarga besar. Atas hal ini, ia kemudian bertekad ingin membuktikan kepada keluarga bahwa dirinya bukanlah santri kaleng-kaleng.
Awal pertama kelas dimulai, ia tampil secara dominan. Setiap pelajaran yang dianggap susah untuk dicerna, ia mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Memberondong sang ustadz dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang ganjil dan tidak umum untuk anak seusianya.
Pernah suatu ketika seorang guru Matematika bercerita tentang pengalaman saat mengajar di kelas. Saat itu sedang belajar materi trigonometri tentang triangle table sin cos tan.
Bagi kalangan santri, materi eksakta tak pernah sedikit pun menjadi pilihan. Ibarat anda yang mengambil studi tentang Ekonomi Bisnis, lalu dipaksa untuk belajar tentang Matan Al-Jurumiyah. Walhasil, kelas mendadak senyap sebab tak satu pun menunjukkan minat.
Wildan mengacungkan tangan, memotong penjelasan sang guru. “Pak, kenapa sih kita harus belajar ini (trigonometri)? Kalau kita belajar, amaliyahnya (aplikasi) dalam kehidupan sehari-hari apa? Ada enggak manfaatnya dalam perjuangan Islam? Kalau ada, saya ingin belajar sungguh-sungguh. Soalnya dari tadi saya tidak paham.”
Mendapat pertanyaan seperti itu, sang guru kaget. Untuk seorang anak umur 12 tahun yang selama ini hidup di kampung di pelosok Lamongan, pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas tak lazim.
“Saya ini sudah belasan tahun mengajar, baru kali ini dapat pertanyaan seperti itu. Sampai saya bingung mau jawab gimana,” kenang sang ustadz.
Lain lagi cerita dari santri senior di Al Islam. Saat jam belajar malam, Wildan dipanggil masuk ke dalam kelas Niha’i (kelas akhir atau setara kelas XIII).
Awalnya, mereka hanya penasaran bagaimana Wildan yang masih terbilang santri baru di kelas awal, namun sudah banyak menghafal kosakata Arab dan mampu menyusun kalimat secara benar. Menjelang upacara malam, para santri senior ini berkumpul di teras masjid pondok.
“Gila ya, Wildan itu ternyata hafal kitab Nahwu Wadzih utuh. Pantesan dia jago Bahasa Arabnya,” ujar salah satu santri.
Cerita demi cerita tentang Wildan, membuat namanya menjadi banyak perbincangan di kalangan asatidz. Bahkan di kalangan santriwati (murid perempuan), Wildan mendadak menjadi primadona. Karena Wildan masih berusia 12 tahun, mereka berebut ingin menjadi kakaknya. Dan jika diadakan voting santri terfavorit, semua serentak menyebut namanya.
Pujian demi pujian tak lantas membuat Wildan terlena. Ia kadung komitmen untuk menunjukkan kepada keluarga atas kekecewaan mereka atas pilihannya. Semua kekecawaan itu dibayar dengan prestasi, secara TUNAI.
Namanya selalu melejit di posisi pertama sebagai juara kelas. Hampir semua nilai-nilai ujian dalam setiap mata pelajaran selalu tembus angka sempurna, seratus. Tak kurang sedikit pun. Bahkan salah seorang ustadz pernah berani memberikannya nilai 100+ pada materi Fiqih. Alasannya, argumentasi yang ditulis oleh Wildan dalam lembar kertas jawaban lebih mirip jurnal ilmiah.
“(Membaca lembar jawaban Wildan) persis seperti buku,” jelas Ustad Asadullah alias Sumarno seperti dikutip dalam film dokumenter Jihad Selfie besutan Noor Huda Ismail.
(Artikel ini merupakan pengalaman pribadi sang penulis yang merupakan senior Wildan Mukhollad semasa belajar di Ponpes Al Islam Tenggulun, Lamongan)