Teroris Bau Kencur

Other

by Kharis Hadirin

Beberapa tahun belakangan, kita sering dikejutkan dengan berbagai aksi terorisme. Ironisnya, justru para pelaku umumnya masih berusia relatif sangat muda atau baru beranjak dewasa, alias masih bau kencur.

Salah satunya yakni yang pernah terjadi di Gereja Santo Yosep Medan pada Agustus 2016 lalu dimana pelaku baru menginjak usia 18 tahun.

Berbagai media pun baik cetak maupun elektronik silih berganti memuatnya sebagai topik utama layaknya jamban umum.

Dalam catatan Republika (10/6/2016) sejak tahun 2000 hingga 2016, terdapat 9 kasus bom bunuh diri yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.

Tragisnya, hampir sebagian besar dari para pelaku, justru dilakukan oleh kalangan muda di bawah umur dengan rentang usia 17-31 tahun.

Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan bahwa hasil riset yang dilakukan Kementerian Luar Negeri (Kemlu), INSEP dan Densus 88 terhadap 110 pelaku terorisme tahun 2012 berdasarkan tingkat pendidikan, sebanyak 63,6% profil pelaku terorisme hanya lulusan SMA.

Dari riset tersebut juga disebutkan bahwa rentang usia mereka terbanyak  antara usia 21 hingga 30 tahun sebesar 47,3% dari keseluruhan kasus yang ada.

Lalu, salahkah pendidikan kita? Dan bagaimana idealnya seorang pemuda?

Merujuk sebuah kalimat populer, ‘Sesungguhnya di tangan pemudalah urusan umat bergantung.

Karenanya, pemuda selalu diidentikkan sebagai generasi penerus bangsa. Lebih jauh, kwalitas sebuah bangsa acap kali menjadikan para generasinya sebagai barometer utama.

Tahun 2009, UNFPA (United Nations Population Fund) mengklasifikasikan pemuda ke dalam tiga tahap, yaitu Transitional Youth (dengan rentang usia 15-19 tahun), Establishing Youth (rentang usia antara 20-24 tahun), dan Established Youth (rentang usia 25-29 tahun).

Berdasarkan definisi oleh UNFPA tersebut, pemuda yang menginjak masa Transitional Youth dan Establishing Youth, adalah mereka yang mulai menempuh pendidikan ke Perguruan Tinggi, mengeksplorasi pekerjaan dan karier, mencari pekerjaan pertama, tinggal bersama orangtua/tinggal terpisah serta belum mandiri secara financial sepenuhnya.

Memasuki tahap Transitional dan Establishing Youth, tidak sedikit pemuda yang memutuskan untuk hidup mandiri, melakukan migrasi dari suatu wilayah ke wilayah lainnya dan mencari jenis kelompok baru yang dipandang memiliki kesamaan visi dengannya.

Kegiatan migrasi atau pencarian identitas ini dianggap sebagai elemen penting dalam proses transisi menuju tahap dewasa atau adulthood.

Menurut Shanahan (dalam Papalia, 2009) dimulainya kedewasaan tidak ditandai oleh kriteria eksternal, tetapi oleh indikator internal seperti otonomi, kontrol diri, dan tanggung jawab pribadi.

Pada proses pendewasaan dalam mewujudkan harapan, biasanya mereka akan dihadapkan pada berbagai perubahan, perbedaan lingkungan, sosio-kultural, dan aturan formal maupun non formal dalam berbagai aspek kehidupan sehingga secara tidak langsung membentuk pribadi yang tumbuh dan berkembang.

Dalam konsep psikologi, fenomena ini lazim disebut sebagai personal growth.

Ryff, seorang psikolog Amerika pernah menyebutkan bahwa personal growth adalah pertumbuhan yang berkesinambungan dalam memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah.

Di saat seseorang berani memilih atau memutuskan untuk mengambil tindakan, hal tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki dorongan atau inisiatif untuk berkembang dan menjadi pribadi yang lebih baik tentunya.

Hal ini memiliki keterkaitan dengan Personal Growth Initiative, yaitu sebuah usaha yang aktif dan sungguh-sunguh dalam proses pertumbuhan, perubahan, dan perkembangan sebagai manusia atau individu.

Pertumbuhan dan perkembangan diri pribadi menjadi sebuah set skill yang penting karena pemuda perlu menyiapkan diri dalam menghadapi masa depan terutama persiapan memasuki dunia kerja dan tanggung jawab yang lebih besar, serta mampu bersaing menghadapi era globalisasi secara matang.

Jadi, jika dengan tumbuh menjadi seorang pemuda, lantas gemar menyebarkan ketakutan dan aksi teror, masih layakkah di tangan mereka urusan umat ini bergantung? Sebab sejatinya, mereka hanyalah pemuda yang tak mampu untuk bersaing menghadapi perubahan zaman yang dewasa ini. Wallahu’alam...

 

Foto: https://www.kiblat.net/2016/05/21/7-kiat-membangkitkan-semangat-dakwah-pemuda-bag-1/

Komentar

Tulis Komentar