Menjadi Teroris Itu Karena Berbakat atau Berminat? (2-habis)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Melanjutkan bahasan mengenai minat menjadi ‘teroris’, ternyata minat itu bisa berkembang dan menyebar ketika mendapatkan lahan atau lingkungan yang tepat, tetapi juga bisa memudar ketika bertemu dengan hal-hal baru yang dirasa lebih baik.


Seorang tahanan kasus terorisme berpeluang untuk menjadi semakin radikal dan juga bisa menjadi sebaliknya, tergantung dari kecenderungan yang lebih dominan dirasakan.


Orang yang tadinya merasa apa yang dilakukannya ketika masih di luar merupakan sesuatu yang asing di masyarakat, tetapi ketika di penjara mereka bertemu dengan orang-orang yang memiliki kesamaan kultur atau budaya dan tak jarang malah bertemu dengan para ustaz yang mereka kagumi, lalu mereka merasa nyaman dengan hal itu, maka yang demikian ini akan membuat mereka semakin menjadi.


Kesamaan kultur yang memang dibangun sebagai salah satu strategi perlawanan itu misalnya seperti yang tercermin dalam perilaku keseharian mereka dalam menjalani hidup mulai dari cara berpakaian, musik yang didengarkan, pilihan bahasa, cara memilih pasangan, dll. Mengapa ini disebut sebagai salah satu bentuk perlawanan? Karena dengan membangun kultur atau budaya tandingan ini mereka hendak membuat ‘war of position,’ yaitu menciptakan ‘budaya tandingan’ (counter culture) atas arus budaya utama yang ada.( Lihat tulisan Noor Huda Ismail https://www.ruangobrol.id/obrolan-kita/titik-balik-penanganan-terorisme/ )


Sejauh pengalaman saya, mayoritas para tahanan kasus terorisme yang ketika di luar baru sedikit belajar, cenderung lebih mudah untuk menjadi semakin radikal. Sedangkan sebaliknya, yang ketika di luar sudah kenyang melanglang buana di ‘dunia persilatan’ akan cenderung pasif karena merasa apa yang dilakukannya memang sudah saatnya dihentikan dulu.


Pada sebagian orang yang kemudian menjadi semakin meningkat semangatnya untuk mengembangkan minatnya, mereka lalu mencari cara untuk terus meningkatkan ‘prestasi’nya meski sudah dipenjara. Maka selanjutnya lahirlah para ‘ustaz media sosial’ yang mencari pendukung sebanyak-banyaknya. Selain untuk meningkatkan ‘prestasi’, mereka juga butuh dukungan materi dari para pendukungnya. Mereka ingin tetap disebut aktivis meski sudah dipenjara, dan inilah peningkatan ‘prestasi’ bagi mereka.


Bagi orang-orang yang masih bisa ‘berprestasi’ seperti itu, ketika sudah bebas dari Lapas pun akan cenderung menutup diri karena dia telah memiliki ‘lingkungan sendiri’ yang sudah mapan meskipun itu hanya terwujud ketika sama-sama berinteraksi di media sosial.


Berbeda dengan tahanan terorisme yang kemudian ketika dipenjara menjadi pasif, mereka akan cenderung mencari alternatif lain karena merasakan susahnya dipenjara. Mereka akan cenderung memilih untuk mengikat ‘perjanjian damai’ dengan negara dengan syarat negara bisa menghargai prinsip mereka sebagaimana mereka juga akan menghormati kedaulatan negara. Hal ini juga dikerenakan mereka merasa apa yang telah mereka lakukan selama ini sudah maksimal, sehingga ingin mencoba jalan yang baru.


Orang-orang inilah yang kemudian memilih untuk dis-engagement dari tindakan ekstremisme kekerasan, tetapi jika negara gagal memelihara kondisi yang mereka inginkan (misalnya membiarkan konflik berlarut-larut), boleh jadi mereka akan kembali melakukan hal itu. Artinya, minat mereka untuk menekuni aktivitas alternatif harus didukung oleh semua elemen bangsa, dan negara harus menjamin keberlangsungan kondisi yang sudah mulai damai ini.


Dan terakhir saya ingin menambahkan, bahwa minat itu bisa ditumbuhkan dan bisa dihilangkan. Jika kita salah menyikapi minat seseorang, itu bisa mengakibatkan keburukan bagi orang tersebut yang dampaknya juga menimpa kita. Dan sebaliknya, jika kita menyikapinya dengan benar, kita bisa mencegah terjadinya hal-hal buruk yang bisa merugikan kita semua dan pada beberapa kondisi kita mungkin akan mendapatkan manfaat yang luar biasa dari minat positif seseorang.


Bukankah seorang manajer perusahaan bisa mendapatkan kinerja maksimal dari karyawannya manakala mereka bisa mengembangkan minat dan bakat karyawannya tersebut?


Sumber ilustrasi: Pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar