Kamis, 10 Oktober 2024. Inilah momentum perdana saya kembali ke luar negeri pasca "insiden" keberangkatan ke Timur Tengah yang menyebabkan saya bersinggungan dengan kelompok ekstrem. Sebenarnya pada 2018, satu tahun pasca kembali dari wilayah konflik, saya pernah mendapat kesempatan menghadiri event regional di Genting Highlands, Malaysia, yang diadakan organisasi asal Swiss Initiative of Change (IofC). Namun, akibat sebuah kesalahan teknis, saya terhalang di imigrasi bandara dan batal menghadiri event tersebut. Juga pada 2020, sempat ada ajakan seorang rekan untuk bertandang ke Singapura dan berkegiatan di sana, namun rencana itu lagi-lagi gagal terhalang pandemi Covid-19.
Akhirnya pada kuartal ke-4 tahun ini, undangan organisasi Malaysia Sisters in Islam (SIS) mengantarkan saya untuk menorehkan cap basah ke dalam paspor yang sudah lama tidak terisi. Kegiatan bersama SIS itu adalah workshop bertajuk The Challenge of Religious Conservatism: A Comparative Approach, yang terselenggara selama 4 hari di sebuah hotel mewah di Kuala Lumpur.
Mural di sekitar hotel seolah mewakili keragaman problematika peserta workshop. (Dok. Febri Ramdani)
Kegiatan tersebut dihadiri sekitar tiga puluh peserta yang datang dari tiga negara yakni Malaysia, Indonesia, dan Singapura. Mereka adalah individu-individu yang beragam dengan berbagai permasalahan hidup dan trauma, yang diharapkan bersedia berbagi dalam workshop tersebut. Pihak SIS mencoba memberikan sebuah ruang aman bagi para peserta untuk dapat secara leluasa mengekspresikan diri tanpa khawatir akan ada judgement atau stereotipe dari peserta lain -- meski masing-masing memiliki perspektif yang bisa sangat berbeda.
Beberapa persoalan kemudian memang disampaikan para peserta, entah itu saat di dalam forum, atau ketika bercengkrama pada saat lunch dan jalan-jalan di waktu bebas berkeliling kota Kuala Lumpur. Isu yang muncul mulai dari diskriminasi terhadap individu yang dianggap melanggar norma-norma masyarakat, ketidakadilan gender, pemaksaan kehendak, anxiety, ruang gerak terbatas sebagai perempuan, keinginan bunuh diri, terlibat jaringan ekstrimisme, hingga menjadi seorang pansexual (ketertarikan secara seksual maupun emosional terhadap semua gender). Dengan melakukan sharing tentang persoalan-persoalan tersebut, diharapkan muncul sikap toleransi serta inklusivitas di kalangan para peserta.
Rata-rata problematika muncul ketika para individu peserta berhadapan dengan konservatisme agama di Malaysia yang cenderung saklek dalam menyikapi masalah. Bahkan sebuah fatwa di negeri jiran itu menyatakan SIS sebagai organisasi sesat dalam menjalankan gerakan-gerakannya yang dinilai feminis, mendukung gender equality, bahkan liberal.
Setelah saling sharing, forum theatre menjadi salah satu sesi lanjutan di mana kegelisahan-kegelisahan yang telah diungkapkan dimainkan perannya oleh para peserta dalam sebuah drama. Waktu persiapan lakon panggung yang biasanya dalam hitungan bulan harus dipersingkat menjadi hanya dalam hitungan hari saja. Para peserta yang sudah dipecah ke dalam beberapa grup harus bermain seni peran dengan mengusung tema-tema kegelisahan yang telah disampaikan sebelumnya. Pada saat drama berlangsung, setiap kelompok dibolehkan melakukan intervensi untuk memberikan alternatif solusi dalam menyelesaikan konflik di forum theatre.
Sebagai gambaran, ada salah satu adegan dari kelompok saya yang outputnya adalah percobaan bunuh diri lantaran individu pelakon dianggap melenceng dari ajaran-ajaran baik yang diyakini masyarakat. Solusi yang ditawarkan kemudian adalah merangkul individu tersebut dan mengajaknya berdiskusi atau berdialog secara baik-baik, alih-alih melontarkan cercaan, judgement, atau bahkan melakukan kekerasan fisik yang membuat orang menjadi rentan, merasa dikucilkan hingga berpikir mengakhiri hidup.
Seusai mengikuti acara SIS ini, saya jadi semakin yakin bahwa pada saat menemui sudut pandang, ideologi, sikap, atau pemikiran yang dirasa tidak sesuai dengan prinsip yang kita anut, maupun yang bertentangan dengan standar masyarakat, hendaknya kita tetap menghindari tindakan-tindakan represif. Ini mengingatkan saya pada metode yang sering disebut-sebut Dr. Noor Huda Ismail dalam berbagai kesempatan, yaitu 3H -- Heart, Hand, dan Head, yang sudah sering terbukti ampuh menghadapi perbedaan perspektif semacam itu, tanpa perlu menyerang pemikiran ataupun ideologi yang berseberangan. [ ]
Komentar