Jundi duduk di tepian kasur, tatapannya kosong, bulir-bulir air mata mulai muncul di sudut matanya. Biasanya pagi begini dia sudah berangkat sekolah. Tapi hari ini, bocah kelas 5 di sebuah Sekolah Dasar Negeri di Bogor itu harus menerima hukuman skorsing setelah peristiwa perkelahian di sekolahnya. Umminya yang melihat kegelisahan anak itu datang menghampiri dan duduk di sebelahnya.
“Abang kenapa?”
“Aku pingin sekolah, Mi,” jawab Jundi
Umminya bergeser merapatkan diri dan merangkul Jundi, “Iya, Ummi ngerti. Tapi untuk hari ini sampai besok lusa, Abang sekolah sama Ummi saja ya, di rumah.”
Jundi terisak, “Aku pingin sekolah, Mi. Nanti siang ada latihan soal ujian. Kenapa sih aku nggak boleh sekolah?”
Perempuan berkacamata itu pun ikut meneteskan air mata. Dia berusaha menenangkan diri sambil sesekali membelai lengan anak lelakinya itu, “Bukan nggak boleh sekolah, Abang. Ibu Guru minta Abang untuk belajar di rumah dulu sama Ummi. Nanti Ummi telepon Ibu Guru, ya, minta fotokopi soal latihan ujiannya.”
“Tapi aku pingin sekolah, Mi. Ifan terus-terusan ngejek aku, apa aku salah memukulnya?”
“Abang, Ifan memang salah sudah mengejek Abang. Tapi Abang jangan membalas keburukan dengan keburukan lagi.”
“Aku kesal, Mi. Ifan selalu ngejek aku anak teroris. Aku marah sama Ifan. Aku juga marah sama Abi, kenapa sih Abi jadi teroris?”
“Sabar ya, Bang. Apa Abang mau pindah sekolah, atau mau masuk pesantren?”
“Nggak mau, Mi. Aku mau sekolah sama teman-temanku. Kalau di sekolah baru atau di pondok aku dihina lagi, sama saja.”
***
Kisah di atas bukanlah cerita fiksi. Itulah penggalan cerita keluarga AJ, mantan terpidana terorisme asal Bogor. AJ memang sudah bebas dari masa hukumannya, dia juga sudah kembali ke tengah masyarakat. Berkiprah di masyarakat, AJ bahkan sering terlibat berbagai kegiatan kontra narasi terorisme bersama aparatur pemerintahan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi sipil lainnya.
Keberhasilan AJ dalam proses reintegrasinya di masyarakat memang bukan kebetulan atau proses alamiah pasca pertaubatan semata. Peran berbagai pihak dari pemerintah telah membentuk AJ untuk menjadi sosok yang siap kembali ke masyarakat dengan wajah yang lebih cerah, jauh dari kebencian dan kemarahan, apalagi dendam kesumat dan kekerasan.
Sejak masih menjalani masa hukumannya, AJ memang beberapa kali merasakan perpindahan Lapas. Namun peran besar BNPT, Densus 88 AT dan Ditjenpas dalam melakukan pembinaan dan pendampingan berhasil mengubah sosok AJ. Bahkan proses pembinaan dan pendampingan terhadap AJ yang dilakukan ketiga lembaga negara itu tetap berlanjut meskipun AJ sudah bebas dari penjara sejak 4 tahun lalu. Pembinaan kian lengkap, menyusul peran serta berbagai organisasi non-pemerintah, pemerintah daerah Kabupaten Bogor dan tokoh-tokoh masyarakat yang membuat AJ dapat lebih berdayaguna di tengah masyarakat.
Meskipun sudah melewati masa reintegrasi sosial dengan baik, bukan berarti AJ tidak akan menghadapi masalah lagi. Berbagai masalah baru bisa muncul dan berkembang jadi besar jika tidak dapat dikelola dengan baik oleh AJ maupun seluruh lapisan masyarakatnya. Seperti masalah yang dihadapi putra AJ, yang erat hubungannya dengan stigma. Asumsinya tentu seorang anak yang belum mengerti, tidak akan mendapatkan pengetahuan tentang baik buruk benar salah tanpa bimbingan orang-orang dewasa.
Stigma: Hukuman Sosial Terkejam
Bernice A. Pescosolido dan Jack K. Martin dalam The Stigma Complex: Annual Review of Sociology mendefinisikan stigma sebagai serangkaian keyakinan negatif, sikap, dan tindakan yang diarahkan kepada individu atau kelompok berdasarkan ciri-ciri tertentu yang dianggap tidak diinginkan atau memalukan. Dalam konteks keluarga penyintas terorisme, stigma menjadi hukuman sosial yang sangat kejam. Anak-anak seperti Jundi, yang tidak ikut andil sedikit pun dalam tindakan orang tua mereka, harus menanggung beban berat dari pandangan negatif masyarakat. Stigma ini tidak hanya mempengaruhi psikologis mereka tetapi juga membatasi kesempatan mereka untuk tumbuh dan berkembang layaknya anak-anak biasa.
Stigma yang melekat pada keluarga penyintas terorisme sering kali bersumber dari ketakutan dan ketidaktahuan. Orang cenderung melakukan generalisasi dan stereotip terhadap individu yang terkait terorisme, menganggap mereka sebagai ancaman. Inilah yang kemudian melahirkan diskriminasi dan marginalisasi, yang kemudian memperburuk situasi sosial dan emosional individu dan keluarga penyintas terorisme tersebut. Misalnya, Jundi harus menghadapi ejekan dan penolakan di sekolahnya, menjadikannya merasa terisolasi dan tertekan. Trauma seperti ini bisa berdampak jangka panjang, seperti kepercayaan diri yang rendah, kesulitan dalam membangun hubungan sosial, dan masalah psikologis lainnya.
Hukuman sosial juga sangat berdampak pada integrasi sosial keluarga penyintas. Meskipun AJ telah berhasil melalui proses reintegrasi dengan bantuan berbagai pihak, stigma yang diterima oleh anaknya menunjukkan bahwa perjuangan belum berakhir. Masyarakat perlu memahami bahwa mengatasi terorisme bukan hanya tentang menghukum pelaku tetapi juga tentang memulihkan dan mendukung keluarganya untuk kembali menjadi bagian dari masyarakat yang produktif dan damai. Stigma yang terus-menerus juga dapat menghambat proses rehabilitasi mantan pelaku terorisme, karena mereka merasa tidak diterima dan terue-menerus dihakimi.
Karenanya, sangatlah penting memberikan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya stigma dan dampak negatifnya yang dapat merusak individu penyintas teroris sekaligus keluarga dan bahkan komunitasnya. Program pendidikan yang menekankan pentingnya empati, pemahaman, dan penerimaan dapat membantu mengubah persepsi negatif dan mengurangi diskriminasi. Semua stakeholder yang menginginkan masyarakat damai harus berpartisipasi dalam upaya ini, termasuk media yang berperan membentuk opini publik. Bagaimanapun, pilihan kita jelas, lebih baik para penyintas ini melebur dengan masyarakat ketimbang mereka menjadi "orang luar" yang berisiko terjerumus kembali ke dalam aksi-aksi teror dengan kekerasan.[]
Komentar