Refleksi tentang Reintegrasi

Other

by Arif Budi Setyawan

[caption id="attachment_8266" align="alignnone" width="768"]reintegrasi-ayah-ruangobrol reintegrasi-ayah-ruangobrol[/caption]

Dalam dunia pencegahan terorisme, persoalan reintegrasi mantan anggota kelompok teror merupakan persoalan yang membutuhkan banyak energi dan waktu yang panjang. Tantangan dalam proses reintegrasi sangat banyak. Karena tidak hanya menyangkut diri si mantan teroris, tetapi juga sangat berkaitan dengan masyarakat dan aparat pemerintah terkait.


Sejauh pengalaman dan pengamatan saya sebagai aktivis pencegahan terorisme, saya mendapati kesadaran dan keteguhan hati para mantan teroris untuk memulai hidup baru seringkali goyah ketika mendapati berbagai kekecewaan atas perlakuan pihak-pihak yang seharusnya membantu proses reintegrasi mereka.


Bila saya menemui teman-teman yang seperti ini, maka saya akan mengingatkan kembali bahwa taubat kita dan tekad kita untuk berubah adalah karena Allah SWT, bukan karena manusia (makhluk). Maka kekecewaan terhadap manusia seharusnya tidak mengubah tekad itu, betapa pun beratnya. Kita juga tidak tahu kesulitan yang dihadapi oleh pihak-pihak yang kita harapkan bisa membantu kita itu. Jadi anggap saja itu merupakan bagian dari ujian keteguhan kita.


Secara moril hal di atas memang sudah benar dan terdengar ideal. Tetapi pada praktiknya akan sangat berat, karena seseorang selalu terikat dengan lingkungan sosialnya. Ada keluarga (anak, istri, dan orang tua), dan ada masyarakat sekitar. Seorang mantan narapidana teroris (napiter) yang sudah teguh berubah ketika di dalam penjara, belum tentu dia tetap teguh ketika sudah bebas.


Misalnya ketika dia harus menghadapi tuntutan anak, istri, atau orang tuanya yang ketika dia dipenjara tidak ada tuntutan itu. Ditambah sulitnya mendapatkan pekerjaan setelah bebas, ketiadaan modal, serta menyandang stigma sebagai mantan teroris yang belum tentu semua masyarakat mau langsung menerima. Apalagi jika ditambah dengan kekecewaan atas masih minimnya upaya yang dilakukan oleh aparat negara terdekat dalam membantu mengatasi persoalan itu.


Maka pada kondisi seperti itu mereka butuh dukungan, minimal dukungan moral dari luar. Pertanyaannya, siapa yang paling berkewajiban dan paling memungkinkan untuk memberikan dukungan moral serta dukungan kebutuhan urgen selanjutnya?


Menurut kami di sinilah perlunya pelibatan masyarakat dalam penanganan mantan napiter dan keluarganya. Karena persoalan terorisme ini setengahnya adalah persoalan sosial, bukan hanya soal keamanan atau pemikiran saja.


Sejak seorang terduga teroris ditangkap, mulai saat itu persoalan keamanan mungkin terselesaikan. Tetapi persoalan sosial yang dihadapi keluarganya sesungguhnya baru saja dimulai. Persoalan sosial ini jika tidak ditangani dengan benar, justru bisa memicu keluarga terduga teroris menjadi semakin radikal. Dan sejauh pengalaman kami, pemerintah masih sangat minim perhatiannya dalam persoalan ini.


Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana membuat masyarakat atau aparat negara terdekat mau peduli dengan persoalan reintegrasi ini hingga bersedia memberikan dukungan yang dibutuhkan?


Sampai hari ini kami di Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) melalui program-program kami, terus berusaha mencoba membuktikan teori bahwa jika pihak-pihak yang dibutuhkan dalam proses reintegrasi diberikan pengetahuan dan keterampilan yang cukup, maka mereka akan dengan sepenuh hati membantu sesuai kemampuan yang dimiliki.


Dari program pendampingan napiter atau eks napiter (2019-2020), penguatan peran RT-RW di Jatim dan Jateng (2020-2021), hingga yang terakhir program pembinaan dan pemberdayaan eks anggota JI di Lampung, semuanya merupakan upaya membuktikan teori tersebut.


Kami meringkas hal-hal yang harus dimiliki oleh masyarakat dan pihak terkait agar siap berpartisipasi dalam pencegahan dan penanggulangan radikalisme-terorisme menjadi tiga bagian, yaitu:




  1. Knowledge atau pemahaman yang menyeluruh terkait isu radikalisme dan terorisme. Mulai dari memahami ideologi, motivasi, proses rekrutmen menjadi teroris, dan pencegahannya.

  2. Skills atau kemampuan praktis cara menyikapi terhadap knowledge yang diberikan seperti bagaimana memperlakukan para eks napiter dan keluarganya jika mereka membutuhkan bantuan.

  3. Understanding atau mempunyai kreativitas yang sesuai dengan konteks tempatan untuk membantu integrasi sosial para napiter. Misalnya bekerja sama dengan instansi terkait seperti Dinas Sosial atau Bapas untuk membuka jaringan sosial baru kepada para eks napiter.


Kemudian dalam menyampaikan ketiga hal tersebut kami selalu melibatkan para “credible voices”, yaitu para mantan napiter yang telah sukses dalam reintegrasi melalui pendampingan kami dan tertarik terlibat dalam program kami.


Mengapa kami harus menggunakan credible voices? Menurut kami kisah proses reintegrasi dengan segenap dinamika yang dialami seorang eks napiter akan menimbulkan kesan yang mendalam bagi masyarakat dan pihak-pihak terkait agar tergerak untuk turut aktif dalam penanganan eks napiter dan keluarganya. Dengan kata lain, kisah nyata yang dituturkan oleh pelakunya sejauh ini lebih berpengaruh daripada teori-teori yang disampaikan oleh para ahli.


Hal ini bukan berdasarkan asumsi, namun sudah terbukti melalui pengalaman kami selama ini. Betapa banyak lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah yang merasa sangat terbantu dalam memahami persoalan radikalisme-terorisme dari kisah perjalanan reintegrasi seorang mantan napiter.

Komentar

Tulis Komentar