Bicara soal terorisme di kawasan Asia Tenggara, nama kelompok Jamaah Islamiyah sempat menjadi momok yang menakutkan sejak Bom Bali 2002. Selama lebih dari dua dekade, entah sudah berapa juta dollar anggaran keamanan negara-negara di Asia Tenggara terkuras untuk mengantisipasi ancaman dari kelompok Jamaah Islamiyah. Beberapa kelompok jihadis yang lebih ekstrim seperti Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), dan Jamaah Anshar Daulah (JAD), sedikit banyak juga terinspirasi dari gerakan JI di masa lalu.
Kini setelah Jamaah Islamiyah mendeklarasikan pembubarannya pada 30 Juni 2024 yang lalu, apakah dengan begitu sudah hilang ancaman keamanannya? Mungkin dari kelompok Jamaah Islamiyah memang sudah hilang karena sudah bubar, tetapi kemunculan kelompok-kelompok baru yang terinspirasi dari apa yang dilakukan oleh JI di masa lalu itulah yang masih menjadi ancaman. Karena bagaimana pun, sulit menolak fakta bahwa yang pertama kali mengajarkan “ilmu-ilmu terlarang” adalah alumni proyek jihad JI di berbagai negara dan wilayah konflik yang disebarkan melalui forum-forum jihad online di masa lalu.
Melihat rekam jejak di masa lalu, proses pembuktian komitmen JI pasca pembubaran akan menjadi fokus perhatian dari banyak pihak. Tidak hanya pihak-pihak di lingkup keamanan, tetapi juga di lingkup sosial, keagamaan, politik, dan pemerintahan.
Pembubaran JI di satu sisi diakui akan mengurangi ancaman keamanan di masa depan yang cukup signifikan. Namun di sisi lain masih menyisakan persoalan bagaimana pemerintah akan mengontrol para eks-JI agar tidak hanya menghilangkan potensi ancamannya, tetapi juga bagaimana memberdayakan mereka dalam membangun peradaban bangsa. Jika berhasil melakukannya, itu akan menjadi prestasi istimewa Indonesia dalam dalam kancah pencegahan terorisme global.
Pola penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dalam proses sejak sebelum pembubaran hingga setelah pembubaran JI bisa menjadi percontohan bagi negara-negara lain yang memiliki persoalan serupa. Bahkan mungkin bisa juga diterapkan pada terorisme yang dilakukan oleh kelompok di luar Islam.
Karena jika bicara soal terorisme secara umum, ada banyak kasus terorisme di dunia yang dilakukan oleh kelompok di luar Islam. Misalnya saja kasus penembakan masjid di Selandia Baru pada Maret 2019. Dalam penyidikan dan persidangan terungkap pelakunya merupakan salah satu penganut paham White Supremacy (Supremasi Kulit Putih). Artinya dia merupakan teroris yang lahir dari kelompok mayoritas di Selandia Baru. Di poin ini ada kesamaan dengan terorisme di Indonesia, yaitu sama-sama lahir dari kelompok mayoritas (muslim).
Di negara-negara Barat, ancaman dari White Supremacy ini mulai muncul di beberapa tempat. Dan pemerintah masing-masing negara sedang berupaya menanggulangi ancaman tersebut. Apa yang dilakukan Indonesia dalam mengatasi kelompok Jamaah Islamiyah mungkin bisa menjadi contoh atau inspirasi. Tetapi tantangannya pasti berbeda dan mungkin lebih sulit terwujud. Perbedaan budaya dan karakter penduduk setiap negara akan sangat mempengaruhinya. Belum lagi kondisi politik dan ekonominya.
Pembubaran JI ini setidaknya bisa menjadi prestasi tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Meskipun baru setengah jalan –karena baru sampai pada pembubaran-- tapi prosesnya patut diapresiasi. Menjinakkan sebuah organisasi yang menjadi momok menakutkan selama lebih dari dua dekade bukan perkara mudah. Butuh puluhan tahun dan mungkin melewati ratusan percobaan teori hingga bisa sampai pada pembubaran itu.
Di tengah praktek demokrasi yang banyak menjadi sorotan dan maraknya kasus penyalahgunaan kekuasaan di negeri ini, pembubaran JI ini bisa menjadi sedikit oase di tengah gurun dalam perjalanan bangsa menuju Indonesia Emas 2045.
Foto: Deklarasi pembubaran JI, Sentul 30 Juni 2024 (Istimewa)
Komentar