Menelusuri Kota Bekas “Medan Jihad” Jamaah Islamiyah di Masa Lalu (1)

Other

by Arif Budi Setyawan

Senin 22 Mei 2023 pukul 07.15 WIT saya menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Kota Ambon, Provinsi Maluku. Kota yang sempat mengisi imajinasi saya di masa lalu tentang heroisme para mujahidin ketika terjadi konflik pemeluk Islam dan Kristen di sana.


Tujuan kedatangan saya ke Ambon adalah untuk melakukan silaturahmi dengan para mantan anggota Jamaah Islamiyah (JI) di wilayah Ambon dan sekitarnya yang telah melakukan pelepasan baiat pada 30 Januari 2023 yang lalu. Dari silaturahmi itu diharapkan bisa mendapatkan gambaran persoalan yang mereka hadapi setelah pelepasan baiat. Selain itu saya sebagai aktivis dan mantan JI bisa berbagi pengalaman dan pengetahuan yang bisa menginspirasi mereka dalam langkah-langkah berikutnya.


Mengenai temuan-temuan di lapangan selama di Ambon yang layak untuk diketahui publik akan saya tuliskan dalam tulisan tersendiri. Untuk kali ini saya hanya akan menuliskan seputar kesan saya terhadap kota Ambon.


Penduduk yang ramah


Pertama kali saya berinteraksi dengan warga Ambon adalah ketika sedang mengantri untuk pengambilan bagasi. Beberapa warga lokal yang menjadi portir bandara tampak menawarkan jasa pengambilan bagasi kepada para penumpang yang mengantri. Bahasa mereka tegas tapi dengan gestur tubuh yang sopan.


Selesai urusan bagasi, saya pun segera keluar menuju area kedatangan. Di sana sudah menunggu banyak sopir taksi dan –mungkin-- calo berbagai moda transportasi lainnya. Ada beberapa yang mendekat dan menyanyakan ke mana tujuan saya. Sama dengan para portir di dalam, bahasa mereka tegas tapi dengan gestur yang sopan.


Setelah saya jelaskan bahwa saya ada yang menjemput, semuanya kemudian menjauh dan memberi jalan. Bahkan ada yang menunjukkan area yang aman untuk menunggu jemputan. Ini tidak seperti di Surabaya, yang para calo transportasinya terkadang bandel. Masih saja mengikuti dan merayu padahal sudah dibilang akan naik bus atau ada yang akan menjemput.


Pagi itu saya dijemput langsung oleh Kanit Idensos Satgaswil Maluku Densus 88/Antiteror Polri bersama dua orang anggotanya. Sungguh saya merasa ini merupakan sebuah penghormatan yang luar biasa. Dalam perjalanan ke penginapan yang sudah dipesan, Beliau banyak bercerita tentang para mantan napiter yang ada dalam pengawasan dan pembinaan Densus 88 di wilayah Ambon dan sekitarnya.


Makanan Khas yang Unik


Siang harinya saya dijamu makan siang oleh Kasatgaswil Maluku Densus 88/Antiteror Polri di sebuah rumah makan yang semua menunya merupakan olahan aneka ikan segar. Beliau sekaligus ingin berkenalan dan ingin mengetahui lebih jauh tentang kerja-kerja kami di Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP). Sebelumnya saya telah berkirim surat permohonan izin melakukan kegiatan silaturahmi dan penelitian di Ambon yang melibatkan beberapa mantan napiter dan mantan anggota kelompok JI.


Siang itu untuk pertama kalinya saya mencicipi satu jenis sambal yang awalnya saya kira sayuran/lalapan. Sambal colo-colo namanya. Sambal yang bahannya tidak dihaluskan, namun hanya diiris kecil-kecil dan kemudian dicampur rata. Bahan sambalnya sendiri terdiri dari cabe rawit hijau, cabe rawit merah, tomat, bawang merah, daun kemangi, garam, dan perasan jeruk nipis yang ditambah sedikit air.


Meskipun wujudnya aneh (karena tidak selazimnya sambal yang saya kenal) tapi ternyata memang rasanya pas betul untuk menemani makan ikan bakar.


Sore harinya saya dipertemukan dengan tiga orang tokoh mantan anggota JI di sebuah kafe dengan pemandangan Teluk Ambon yang eksotis. Di situ kami saling memperkenalkan diri dan saya juga menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan saya ke Ambon kepada teman-teman mantan anggota JI yang hadir.


Mereka menyambut dengan antusias dan mempersilahkan saya untuk silaturahmi ke rumah mereka masing-masing agar bisa lebih leluasa mengobrolnya. Sekilas dari obrolan di sore itu, mereka memang membutuhkan perhatian atas persoalan yang muncul setelah pelepasan baiat. Secara garis besar persoalan mereka sama dengan yang dihadapi oleh teman-teman mantan anggota JI di Lampung, yaitu masalah bagaimana melakukan pembuktian kepada masyarakat.


Namun, karena kondisi masyarakat Ambon dan reaksi pemerintah setempat berbeda dengan yang terjadi di Lampung, maka solusi yang diinginkan pun berbeda. Ini menarik sekali bagi saya dan KPP. Sepertinya KPP akan memiliki peran baru bila ingin terlibat dalam membantu mereka ini.


Di kafe itu saya kembali menemukan makanan yang unik: pisang goreng dan sukun goreng yang digoreng tanpa tepung seperti di Jawa. Bagi saya, ini jadi makin unik sebab dicocol terlebih dahulu ke sambal sebelum dimakan. Ini aneh, makan pisang goreng kok pakai sambal, pikir saya.


Tapi setelah mencoba, ternyata cita rasa pisangnya memang pas bila dimakan dengan sambal. Enak juga. Wah, Indonesia memang kaya akan budaya yang beraneka ragam. Termasuk makanannya.


(bersambung)

Komentar

Tulis Komentar