Dimensi Lain Aksi Nirkekerasan

Other

by Boaz Simanjuntak

Sadar atau tidak sadar, kita berada di dalam dunia yang mempunyai ukuran dan sudut pandang yang berbeda. Kita bisa merasa sebagai “orang kecil” karena dianggap biasa saja atau dianggap “orang besar” karena mempunyai kuasa. Apapun bentuk anggapan, sesungguhnya kita mengisi ruang-ruang yang ada di bumi.

Ruang bisa rumit jika dihubungkan dengan negara. Terdapat batas wilayah, manusia sebagai bangsa, hukum yang berperan sebagai tata perilaku, serta bahasa dan mata uang yang dipakai sebagai alat untuk menghubungkan satu sama lain. Namun, ruang bisa menjadi sederhana, misalnya sebagai tempat untuk bicara, mengungkapkan unek-unek.

Setiap orang punya ruang favorit. Saya selalu senang saat berada di ruang terbuka pada halaman belakang rumah. Saat hujan turun membasahi tanah, bau petrikor yang dihasilkan menjadi aroma terapi dari alam bagi saya. Duh…sok romantis. Saya serius, coba saja Anda hirup baunya.

Kesempatan kedua bagi individu yang pernah terlibat dalam lingkaran kekerasan mempunyai relasi dengan ‘ruang’. Menyediakan ruang bagi mantan pelaku kekerasan adalah hal yang tidak mudah. Stigma di masyarakat cenderung tinggi. Padahal, kesiapan masyarakat dalam konteks community resilience dibutuhkan dalam proses reintegrasi bagi para mantan.

Ashutosh Varshney dalam “Ethnic Conflict and Civil Life: Hindus and Muslims in India” berpendapat bahwa dalam komunitas yang plural, kokohnya inter-communal networks dalam kehidupan sipil akan mendorong perdamaian. Sebaliknya, jika inter-communal networks tidak ada atau lemah, masyarakat akan menjadi rentan terhadap konflik.

Varshney berpendapat ada dua tipe hubungan inter-komunal, yakni: associational forms of civic engagement (interaksi masyarakat dalam entitas formal) dan everyday forms of civic engagement (interaksi masyarakat sehari-hari).

Entitas formal adalah kaum pekerja dan pebisnis yang berasal dari masyarakat lintas agama. Sedangkan dalam keseharian dipraktikkan dengan interaksi antarmanusia melalui aktivitas saling kunjung, kerja sama, partisipasi dalam kegiatan sosial, terlibat dalam komunitas lintas budaya, agama, gender, tingkatan umur, kelas sosial, dan hal-hal yang memungkinkan untuk saling menghargai.

Dalam konteks pencegahan terorisme, konsep disengagement menjadi pelengkap proses deradikalisasi. Kedua program akan sulit berhasil jika menjadi tahapan yang berdiri sendiri saat memberikan ruang bagi para mantan teroris. Disengagement seperti proses melepaskan masa lalu, keluar dari ikatan yang tidak baik, lingkaran pertemanan yang merugikan, dan membangun hidup yang baru lewat kesempatan kedua.

Saat mantan teroris sudah memiliki niat kuat untuk lepas dari masa lalunya, masyarakat harus siap memberikan ruang untuk interaksi bersama. Kelompok teroris adalah kelompok kecil yang biasanya merasa eksklusif, resisten terhadap interaksi sosial dengan yang berbeda. Penerimaaan, kesempatan kedua, atau membuka ruang bagi mantan pelaku kekerasan menjadi proses berkelanjutan yang sifatnya inklusif.

Apa bentuk inisiatif sosial yang sedang anda pikirkan untuk mencegah orang terlibat dalam kekerasan? Ayo coba dalam ruang bernama interaksi sosial yang inklusif. Proses pencegahan terorisme memerlukan mekanisme “Kerjasama bukan Kerja-saya”.

 

SUMBER GAMBAR: livingpeaceinternational.org

Komentar

Tulis Komentar