Ramadan 1441 Hijriah memang beda dari tahun-tahun sebelumnya. Orang-orang biasanya akan meramaikan alun-alun kota untuk menjual berbagai macam takjil, beberapa restoran berlomba-lomba membuat paket buka bersama untuk acara bukber alumni dari TK sampai kuliah, adanya kesempatan yang lebih untuk bersilaturahmi, dan belum lagi tiap malam kita berkumpul di masjid untuk tarawih, yang beberapa jamaah datang untuk memenuhi buku aktifitas ramadhan dari sekolahnya. (Eh, enggak boleh suuzon! Hehehe. Duh, jadi teringat zaman SMP) Namun kali ini, kita harus lebih banyak menghabiskan rutinitas di rumah. Keluar rumah seperlunya saja.
Sejak dua bulan yang lalu, peralatan kesehatan dan kebersihan mengalami permintaan yang sangat tinggi. Sehingga harganya pun ikut melonjak bahkan sampai tidak masuk akal. Belum lagi, ada tangan tangan kotor bermain yang hendak memperkaya diri di tengah kesulitan seperti ini. Itulah mereka para penimbun. Salah satunya penimbun masker.
Bulan maret lalu, saya sempat sakit dikarenakan banyaknya aktifitas ditambah kehujanan dan telat makan sehingga terserang demam dan batuk pilek. Tenang, tenang, saya sudah periksa ke dokter kok. Mengikuti arahan WHO dan pemerintah, bahwa masker hanya untuk tenaga medis dan orang yang sakit, otomatis saya harus pakai masker lebih tepatnya masker medis. Apalagi waktu itu belum ada seruan masker kain dan belum membaca jurnal tentang keefektifan masker kain dalam menangkal virus. Dikarenakan adanya panic buying, dan aksi menimbun masker, saya sempat kebingungan “Harus beli di mana lagi?”. Saya sudah mengunjungi lebih dari 3 apotek, tapi tidak juga ketemu. Haduuh susahnya minta ampun. Alhasil, ketika harus kontrol ke puskesmas saya memakai masker kain yang dilapisi beberapa lembar tisu. Beberapa saudara saya juga sempat mengalami batuk, sehingga terpaksa menggunakan satu masker medis berkali-kali, dan hanya mengganti beberapa lembar tisu secara berkala. Ya ... daripada enggak pake masker, dan khawatir bisa menularkan ke orang lain. saya juga teringat akan nasib para tenaga medis yang banyak kekurangan masker, APD, dll. Padahal mereka yang bersinggungan langsung dengan pasien.
Pada bulan Maret, salah satu kota di Indonesia juga tertimpa musibah lain. Yaitu erupsi gunung merapi. Masyarakat harus menghirup abu vulkanik yang sangat menyesakan dada dan merusak pernafasan. Lagi-lagi, orang-orang yang sangat membutuhkan tidak bisa melindungi dirinya. Corona menyerang, abu vulkanik juga menyerang. Ya Allah ....
Allah tidak tidur, per tanggal 2 mei 2020 saya melihat sebuah trendi di Twitter menggunakan kata “penimbun” dan “jual rugi”. Ternyata, ada beberapa penimbun masker yang mulai menunjukan batang hidungnya dan melakukan panic selling. Boom! Akhirnya mereka merasakan balasan dari ulah tangan mereka sendiri. Mereka mulai menawarkan timbunan masker berkarton-karton banyaknya dan harus mengalami kerugian. Sejak ada gerakan untuk memakai masker kain, masyarakat banyak yang beralih ke masker kain, dan juga karena harga masker medis sudah mulai normal. Makanya mereka jadi pusing deh sekarang.
Setiap musibah yang kita alami, Allah selalu menyelipkan sebuah hikmah besar di dalamnya. Dari musibah ini, kita akan diuji. Apakah kita sadar, melakukan perbaikan, dan berbuat baik, atau malah sebaliknya?.
Buktinya sudah kita saksikan sendiri. Mereka yang berbuat baik, sekecil apa pun perbuatannya akan mendapat balasan yang berlipat ganda. Sedangkan mereka yang berbuat jahat akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Ramadan kali ini, enggak cuma kurma saja yang ramai di pasaran. Karma bagi yang berbuat curang dan jahat juga mulai berdatangan. Na’udzubillahimindzalik.
Karma Telah Datang, Wahai Para Penimbun!
Otherby nurdhania 3 Mei 2020 6:24 WIB
Komentar