Mimpi Khilafah dan Peran Individu dalam Jaringan Teror

Analisa

by Kharis Hadirin

Keterlibatan individu dalam jaringan kelompok teror dan kesediaannya melakukan aksi kekerasan, pembunuhan dan pengeboman selalu mengundang pertanyaan. Pertanyaan yang sering kali muncul adalah tentang kekuatan apa yang mampu menggerakkan seseorang mampu bertindak dengan begitu tenang, sementara resiko besar akan menimpa dirinya dan orang lain?

Paling tidak, ada dua faktor yang mendorong seseorang berlaku demikian. Pertama, adanya justifikasi agama yang memberikan pembenaran terhadap aksi yang dilakukan individu. Ali Imron, terpidana kasus Bom Bali 2002 dalam berbagai diskusi selalu menekankan bahwa geopolitik yang ada saat ini tidak menjadi jaminan bahwa ancaman teror akan hilang.

Ia menegaskan bahwa obsesi Ali Ghufron alias Mukhlas dalam merancang aksi bom tidak murni semata karena faktor kesenjangan atau ketimpangan sosial. Mukhlas punya cita-cita ingin mendirikan negara khilafah dan mengganti ideologi Pancasila.

Lebih lanjut, Ali Imron mencontohkan negara Singapura. Meski negeri Singa ini makmur secara ekonomi, bahkan merajai kawasan Asia Tenggara dalam berbagai kemajuan teknologi, toh ini tidak melepaskan negara ini dari berbagai ancaman teror.

Kedua, adanya gerakan kolektif atau gerakan sosial yang digunakan oleh kelompok ini untuk mewujudkan cita-citanya. Mekanisme ini meniscayakan keberadaan individu yang memiliki karakter pejuang atau jihadis.

Kondisi tersebut tentu tidak lahir karena faktor tunggal dimana dalil agama sebagai justrifikasi atas aksi-aksi yang dilakukannya. Hal lainnya adalah karena adanya faktor ketimpangan sosial. Sebagai contoh, maraknya pengangguran di tengah masyarakat, depresi sosial dan ekonomi, korupsi yang merajalela serta lemahnya sistem hukum yang tidak pernah menjamin keadilan telah mendorong lahirnya gerakan kelompok ini hingga akar rumput yang siap melakukan perlawanan. Jika ditelisik lebih dalam, radikalisme sebetulnya merupakan jelmaan dari suara-suara jelmaan kaum tertindas.

Peran Pemerintah dalam Proses Deradikalisasi


Sejak peristiwa Bom Bali 2002, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini berkuasa penuh dalam mengadili terpidana kasus terorisme, termasuk menjalankan program deradikalisasi melalui BNPT. Namun, apakah itu menjamin program deradikalisasi berhasil? Tentu saja belum.

Bagaimana atas segala yang terjadi di luar penjara? Siapa yang bertanggungjawab atas peredaran idelogi radikal melalui banyak tempat dan fasilitas? Bagaimana dengan wacana-wacana kekerasan dan radikalisme yang beredar luas melalui media elektronik dan alam sibernistik? Bagaimana dengan ketakutan publik atas menjadi bayang-bayang terorisme yang siap mencengkeram kapan saja? Tentu saja pertanyaan-pertanyaan ini tidak ada yang bisa menjamin dapat menjawabnya.

Sesungguhnya melegitimasi kekerasan untuk melawan kekerasan bukanlah cara yang ideal. Begitupun melegitimasi hukum untuk membunuh dan menyergap siapa saja yang disinyalir berpotensi sebagai teroris juga perlu ditinjau ulang. Tidak semestinya deradikalisasi membangun proses balas dendam yang berkepanjangan.

Moeslim Abdurrahman dalam bukunya ‘Krisis Sosial, Krisis Politik, dan Krisis Bangsa Majemuk’ yang terbit tahun 2009 pernah menyampaikan gagasannya.
Bagaimana agama sebagai wacana keimanan mampu melalukan pergulatan sejarah yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, sehingga agama tetap mempunyai kekuatan profetik untuk mengubah keadaan dan menjadi hidayah bagi terwujudnya masyarakat yang damai dan berkeadlian”.

Pada akhirnya, inilah sesungguhnya pintu menuju ‘jalan panjang deradikalisasi’, yaitu pembangunan peradaban kemanusiaan itu sendiri. Bila ideologi bisa menjadi sumber masalah krisis kemanusiaan yang berpotensi abadai, maka kerja deradikalisasi ini pun sejatinya adalah kerja kemanusiaan tanpa henti.

Fenomena jaringan kelompok transnasional, berbagai aksi teror, kontra terorisme. Deradikalisasi bukanlah sekedar persoalan bagaimana membuat individu atau kelompok agar memiliki pemikiran ideologi keagamaan yang lunak dan tidak menggunakan cara-cara kekerasan atau teror dalam jubah agama.

Namun juga hal ini harus dapat menjangkau seluruh persoalan mengenai krisis kemanusiaan, keadilan sosial dan peradaban. Ideologi keamanan justru berpotensi menjadi masalah, sesungguhnya lahir karena krisis kemanusiaan tersebut.

Di samping itu, menghidupkan kembali nilai-nilai hidup di masing-masing tempat kita berasal dan berpijak juga merupakan pelajaran penting mengenai deradikalisasi. Seiring dengan ini semua, pemerintahan yang bersih, penegakan hukum dan keadilan, serta jaminan kesejahteraan, keamanan dan demokrasi, juga menjadi kunci sukses deradikalisasi.

Komentar

Tulis Komentar