“Aku nggak balik ke Jakarta dulu, tunggu kalau ada panggilan kerja saja. Perusahaan lagi sepi proyek. Mau kerja serabutan dulu di sini sambil nunggu ada proyek”, kata tetangga sebelah rumah ketika saya tanya kapan balik ke Jakarta.
Dia sudah merantau ke Jakarta sejak 20 tahun yang lalu. Pekerjaan terakhirnya adalah tenaga ahli dari sebuah perusahaan yang bergerak di bidang instalasi plafon dan interior. Pada masa jayanya, perusahaannya sering mendapatkan proyek besar seperti pembangunan hotel, perkantoran, perumahan, hingga renovasi gedung-gedung milik pemerintah dan swasta. Tapi sejak 6 bulan terakhir ini dia mengaku perusahaannya hanya dapat beberapa proyek kecil. Sebagian pekerja bahkan sudah ada yang dirumahkan sementara dan diizinkan untuk menerima job dari luar perusahaan.
Di tempat lain, agen bus langganan saya bercerita, bahwa berdasarkan data pemesanan tiket online hingga H+5, banyak bus yang masih tersisa kursi kosong. Padahal tahun lalu, semua kursi hingga H+7 nyaris terisi semua. Hanya 1-2 bus yang masih ada kursi kosong, itupun tidak lebih dari 1 kursi per bus.
Pemudik 2025 Menurun Dibandingkan tahun 2024
Kedua cerita di atas seakan memperkuat bukti bahwa tahun ini jumlah pemudik memang menurun. Kondisi perekonomian di negeri ini ditengarai menjadi penyebab utamanya.
Melansir dari BBC.com, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyebutkan jumlah pemudik turun 24,34% dari 193,6 juta orang tahun lalu menjadi 146,48 juta orang pada Lebaran tahun ini, menurut hasil survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan bersama sejumlah akademisi.
Meskipun tidak dipaparkan apa penyebabnya, tapi pengamat ekonomi menyebut lesunya daya beli masyarakat, masifnya pemutusan hubungan kerja, hingga pengurangan bantuan sosial menjadi faktor kuat pemicu fenomena "anomali" tersebut.
Masih mengutip dari BBC.com, Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, memaparkan anjloknya jumlah pemudik pada musim Lebaran tahun ini dipengaruhi oleh beberapa hal.
Pertama, yang sangat kentara terlihat adalah lesunya daya beli masyarakat.
Ambruknya daya beli masyarakat sebetulnya sudah terasa sejak pertengahan tahun lalu. Kala itu, berdasarkan data BPS, Indonesia tercatat mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024. Deflasi kembali berlanjut pada Februari lalu, atau satu bulan jelang Ramadan—masa di mana tingkat konsumsi masyarakat biasanya meningkat.
Lesunya daya beli ini tak lepas dari tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor. Mulai dari industri manufaktur, teknologi, perbankan, pengolahan, jasa, hingga ritel.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak kurang lebih 80.000 orang mengalami PHK sepanjang 2024. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang berkisar di angka 60.000 orang.
Faktor berikutnya selain PHK adalah terjadi penurunan bantuan sosial ke masyarakat. Menurut pengamatan Celios, turunnya sekitar 16% atau dari Rp168 triliun pada tahun lalu kini menjadi Rp140 triliun saja.
Ekonomi Lesu Berpotensi Meningkatkan Ancaman Serangan Teror?
Dalam pengamatan tim peneliti Ruangobrol di media sosial, sejak disahkannya UU TNI yang dibarengi dengan meningkatnya kesulitan ekonomi masyarakat, mulai ramai beredar narasi-narasi propaganda anti pemerintah.
Tidak hanya berisi narasi-narasi yang mengecam, tapi juga menyampaikan “narasi alternatif” yang ekstrim. Dari sekedar menawarkan konsep “sistem pemerintahan alternatif” hingga ajakan untuk melakukan serangan “Lone Wolf” sebagai bentuk perlawanan atas apa yang mereka sebut sebagai “thaghut”.
Secara teori, potensi meningkatnya ancaman serangan teror, khususnya serangan “Lone Wolf” di tengah keterpurukan ekonomi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Saat ekonomi memburuk, banyak individu mengalami pengangguran, kemiskinan, stres psikologis, dan kehilangan harapan. Kondisi ini menciptakan kerentanan terhadap paham ekstrem, terutama bagi mereka yang merasa terpinggirkan atau kecewa dengan sistem. Kelompok radikal sering memanfaatkan situasi ini untuk menyebarkan narasi mereka, menjanjikan “makna hidup” atau “tujuan perjuangan” bagi mereka yang sedang mengalami krisis identitas.
Sedangkan serangan “Lone Wolf” adalah serangan teror yang dilakukan oleh individu secara sendiri (tanpa afiliasi langsung dengan kelompok besar). Di mana serangan ini biasanya terinspirasi oleh ideologi radikal dan mendapatkan panduan atau motivasi melalui internet dan media sosial. Di sisi lain, dalam era digital, propaganda dapat tersebar cepat dan masif, menjangkau orang-orang yang sedang terpuruk secara mental dan ekonomi.
Ketika jumlah orang-orang yang sedang terpuruk secara mental dan ekonomi meningkat, dan pada saat yang sama propaganda ideologi radikal juga meningkat akibat para pengusungnya melihat adanya momentum tepat, maka orang-orang yang terpengaruh ideologi radikal akan semakin meningkat. Ini juga berarti potensi ancaman serangan “Lone Wolf” juga akan meningkat.
Ilustrasi: istockphoto.com
Komentar