Fitnah Di Penjara
Ketika menjalani penahanan di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Rifat mendapati beberapa fenomena ‘unik’. Ia dijauhi dan bahkan dikafirkan karena dianggap menghalalkan rokok dan dekat atau akrab dengan para sipir dan penyidik. Dia memang belum bisa berhenti dari merokok meskipun sudah berada di penjara.
Fitnah atau gosip yang paling menyakitkan adalah yang menyatakan bahwa dirinya sudah merapat ke pihak musuh (Densus dan BNPT) begitu cepat menyebar di kalangan para aktivis jihadi di seantero nusantara. Bahkan sampai dia dipindahkan ke Lapas pun tak lepas dari fitnah itu.
Dirinya disebut bisa dapat LP di kota asalnya adalah karena telah bekerjasama dengan Densus/BNPT atau hasil menyuap petugas. Hal ini bahkan sampai harus di-tabayyun oleh Budi Satrio dan Dita atau Anton (kelompok pelaku bom Surabaya). [Yang diingat pasti namanya hanya Budi Satrio, sedangkan dua yang lain yang juga diajak dalam dua kali kunjungan sudah lupa]
Budi Satrio memperkenalkan diri sebagai bendahara JAD (Jamaah Anshar Daulah) Jawa Timur yang salah satu tugasnya adalah memberikan santunan kepada para Anshar Daulah yang dipenjara. Untuk itulah ia harus memverifikasi apakah para Anshar Daulah yang dipenjara itu layak untuk mendapatkan santunan itu atau tidak. Dan fitnah sejak dari Mako Brimob itu termasuk yang harus di-clear-kan pertama kali.
Tidak Mengambil Remisi
Melihat dampak dari fitnah semenjak dari Mako Brimob yang sedemikian luasnya berkembang -sampai ke Budi Satrio yang tidak ada hubungan apa-apa- ia jadi berpikir untuk meredam fitnah itu agar tidak terus berkembang. Salah satunya ia memilih mengikuti apa yang sudah dilakukan oleh napiter yang ada di Lapas itu sebelum dia meskipun dalam hati sangat tidak setuju.
Di Lapas tersebut sebelumnya sudah ada DR, terpidana 9 tahun kasus perampokan kelompok Abu Rohban (Mujahidin Indonesia Barat) yang mengikuti faham/pemikiran Aman Abdurrahman. Salah satu yang cukup mengganggu adalah DR tidak mau shalat di masjid Lapas, padahal Rifat sangat ingin shalat di masjid.
Rifat pada waktu pertama datang di Lapas menyatakan bersedia membantu mengajar baca Al Qur’an para napi yang ingin belajar mengaji. Tetapi setelah bertemu DR, ia mengurungkan niatnya.
Ia tidak ingin menambah fitnah yang sangat mungkin akan semakin bertambah jika ia jadi mengajar ngaji dan shalat di masjid. Ia yang masih merokok saja dipermasalahkan oleh DR, apalagi jika ditambah shalat di masjid.
Hal ini pula yang menyebabkan ia tidak mengurus remisi. Bukan karena ia tidak mau pulang lebih cepat, tetapi menjaga agar fitnah tidak semakin menjadi-jadi. Ia sudah cukup senang bisa menjalani sisa masa pidana di Lapas yang dekat dengan rumahnya, sehingga keluarganya bisa menemuinya atau mengantarkan makanan hampir setiap hari kecuali hari libur.
Menjelang kebebasannya saat itu, ia juga mengungkapkan kegalauannya terhadap stigma negatif dari masyarakat. Ia sangat merasakan dampak stigma itu dari tidak adanya saudara dan kerabatnya yang datang membesuk selama ia menjalani pidana di Lapas. Hanya anak istrinya saja yang datang. Jika saudara dan kerabatnya saja seperti itu, lalu bagaimana dengan masyarakat luas?
Setelah bebas nanti ia pun tetap tidak ingin dipublikasikan terkait kegiatannya bersama aparatur negara. Dia sangat paham pasti akan ada banyak pihak yang akan mendatangi dan menawarkan bantuan. Selama bisa tanpa publikasi ia dengan senang hati akan menerimanya. Tetapi jika harus dipublikasikan -dan hal ini pasti diinginkan oleh pihak pemberi, apalagi jika aparatur negara- maka ia akan menolaknya.
Ditanya rencana mau kerja apa setelah bebas nanti, ia menjawab yang paling mudah adalah kembali melanjutkan usahanya sebagai perajin batu akik. Meski sekarang tidak seramai masa keemasan di tahun 2014-2015 dulu, tetapi masih cukup bisa diandalkan sebagai batu loncatan sebelum mendapatkan peluang usaha yang lebih bagus. Selain itu modal yang dibutuhkan juga tidak terlalu banyak.
(Bersambung)
(Ilustrasi: Pixabay)
Komentar