Dalam proses reintegrasi sosial narapidana terorisme, sebelum mereka dikembalikan ke masyarakat, perlu diilakukan upaya intervensi ketika mereka menjalani pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pada konteks deportan WNI eks ISIS, intervensi dilakukan ketika mereka menjalani proses rehabilitasi di tempat rehabilitasi yang ditetapkan oleh BNPT.
Selama ini di dunia aktivisme pencegahan ekstremisme kekerasan, dikenal adanya dua bentuk intervensi, yaitu Disengagement (pelepasan/pemutusan) dan Deradikalisasi.
Disengagement biasanya diidentifikasikan sebagai intervensi yang berupaya untuk mencegah atau mengubah hubungan pelaku dengan kelompok ekstremis. Bisa juga diartikan sebagai ‘memutus-ikatan’ atau menarik keluar pelaku dengan merubah perilaku dengan tidak lagi memilih atau meninggalkan penggunaan kekerasan, berbeda dengan deradikalisasi yang diartikan sebagai moderasi pemikiran.
Disengagement terjadi ketika seseorang mengurangi atau berhenti menggunakan metode yang dianggap ekstrim. Jadi, hal ini merupakan sebuah keputusan individu dari sebuah kelompok teror, atau gerakan radikal, untuk menghentikan partisipasinya dalam tindakan kekerasan. Dan istilah ini secara khusus berfokus pada perilaku. Karena bisa jadi individu ini masih memegang keyakinan yang ekstrim (tidak bisa diukur dengan pasti).
Disengagement bisa saja berasal dari perubahan peran yang dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologis seperti kekecewaan, kelelahan atau kegagalan untuk mencapai harapan yang menjadi alasan keterlibatan dalam sebuah kelompok radikal. Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan individu atau anggota sebuah kelompok mencari peran yang berbeda dari kelompok tersebut.
Sedangkan deradikalisasi merupakan sebuah proses dimana seseorang menolak ideologi yang dulu mereka yakini. Proses ini satu langkah lebih jauh dari disengagement karena ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku atau aktivitas seseorang.
Deradikalisasi juga sering dikaitkan dengan upaya untuk menghancurkan ketaatan pada ideologi tertentu. Deradikalisasi terjadi ketika individu atau kelompok bergerak dari posisi ekstrimis menuju ke arah yang lebih moderat. Atau secara sederhana, istilah deradikalisasi dapat dipahami sebagai sebuah upaya yang menunjukkan proses pembalikan dari radikalisasi.
Pihak Yang Terlibat Dalam Reintegrasi Sosial
Kami mengelompokkan pihak-pihak yang terlibat dalam reintegrasi sosial WNI eks ISIS menjadi dua, yaitu:
1. Pemerintah Daerah, Komunitas Lokal, Keluarga, dan Teman
Pemerintah daerah (Pemda), komunitas lokal, keluarga, dan teman dapat memainkan perannya masing-masing untuk mendekati, berpartisipasi, dan melakukan intervensi setelah mantan pelaku kembali ke masyarakat. Pemda memiliki peran yang cukup penting dalam upaya penanggulangan terorisme terutama pada bagian pencegahan dan reintegrasi sosial.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan assessment secara berkesinambungan. Identifikasi ini penting dilakukan kepada WNI eks ISIS yang kembali dari Suriah tanpa harus menunggu kebijakan (perintah) dari Pemerintah Pusat. Selain itu, Pemda juga sebisa mungkin memberikan akses dan pembelajaran agar mereka tidak lagi kembali maupun bergantung kepada kelompok lamanya. Di sisi lain, Pemda juga harus mempersiapkan masyarakat agar bisa menerima mereka kembali ke daerahnya.
Selain Pemda, keterlibatan masyarakat juga dapat dilakukan dengan sejumlah cara, meliputi:
-
Mencegah keinginan yang terus menerus dari keterlibatan dalam kelompok ekstremisme kekerasan;
-
Memberikan peluang untuk mendorong disengagement;
-
Memberikan alternatif, hubungan pro-sosial dan memberikan suara-suara penting yang menentang pembenaran atau persepsi untuk mendukung ekstremisme.
Individu dan kelompok ini dapat memberikan kepercayaan, kredibilitas, peluang dan insentif untuk perubahan, yang mungkin tidak dapat diberikan oleh pemerintah.
2. Aktor Lainnya (LSM, Pemuka Agama, Mantan Teroris, Mantan Deportan Eks ISIS)
Dengan pengalaman terkait, aktor-aktor di luar keluarga dan komunitas juga dapat terlibat dalam melakukan intervensi maupun membantu reintegrasi sosial kepada deportan eks ISIS. Keterlibatan para aktor ini dapat berfungsi sebagai dasar bagi mereka untuk mengembangkan pengalaman yang lebih mendalam tentang ekstremisme.
Studi menunjukkan bahwa banyak pelaku ekstremisme berbasis kekerasan memiliki pengetahuan agama yang terbatas atau interpretasi yang sangat khusus berdasarkan ideologi yang disebarkan oleh kelompok mereka. Misalnya, salah satu peran kunci dari pemuka agama adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman agama mereka dan untuk membuat pelaku (deportan eks ISIS) lebih kritis dalam hal interpretasi ekstrem dan ideologis.
Selain itu, para pemuka agama juga bisa memiliki peran sebagai orang kepercayaan; orang-orang yang dapat dipercaya untuk curhat dan dengan siapa mereka dapat berbagi emosi, frustrasi, dan keluhan pribadi. Ini dapat membantu meredakan ketegangan dan tekanan bagi para pelaku.
Selain melibatkan pemuka agama, melibatkan mantan teroris juga dapat menjadi alat yang sangat kuat karena mereka memberikan kontra narasi maupun narasi alternatif, termasuk pengalaman mereka meninggalkan kelompok dan ideologi ekstrem.
Setelah mengalami dan menjadi bagian dari kelompok ekstrem dan memiliki pola pikir ekstrem sendiri, mantan teroris biasanya memiliki kredibilitas yang kuat. Mereka juga berada di posisi yang tepat untuk memahami dan berempati dengan perjuangan, pemikiran, dan perasaan yang saling bertentangan yang mungkin dimiliki oleh pelaku.
(Diolah dari berbagai sumber)
Ilustrasi: By AI (https://app.leonardo.ai/image-generation)
Komentar