Mengapa Aksi Penusukan Menkopolhukam Sulit dicegah Meski Pelakunya Sudah Terpantau?

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Menyikapi beberapa pemberitaan di media massa yang menyebutkan bahwa para pelaku penusukan bapak Menkopolhukam sudah pernah disebut dalam rilis Polri ketika menangkap komplotan Abu Zee pada akhir September 2019 yang lalu, banyak yang kemudian bertanya-tanya mengapa tidak segera ditangkap untuk mencegah aksi yang mungkin akan mereka lakukan ?


Dalam rilis Polri pada saat itu disebutkan bahwa yang menikahkan kedua pelaku penusukan yakni SA alias Abu Rara dan istrinya (FA) adalah Abu Zee. (Lihat https://www.ruangobrol.id/2019/09/23/fenomena/densus-tangkap-rombongan-terduga-teroris-kelompok-abu-zee-di-bekasi-dan-jakarta/ )


Hal ini ditambah lagi dengan pernyataan pejabat BIN bahwa kedua pelaku sudah terpantau selama beberapa bulan terakhir. Ini tentu sangat wajar jika kemudian masyarakat umum banyak yang bertanya-tanya mengapa tidak segera ditangkap?


Sebagai orang yang pernah dipenjara karena terlibat kasus terorisme, saya bisa memahami mengapa mereka tidak bisa ditangkap lebih awal meski sudah terpantau. Sedikit banyak saya paham logika penegakan hukum untuk kasus terorisme.


Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa aparat penegak hukum di Indonesia menjunjung asas praduga tak bersalah, termasuk dalam kasus terorisme. Perlu adanya alat bukti yang bisa menjadikan seseorang bisa ditangkap dengan sangkaan pidana terorisme. Batasan alat bukti inilah yang kurang dipahami oleh masyarakat awam.


Kalau sekadar berbaiat pada pemimpin ISIS dan menjadi anggota grup Telegram yang membahas pemikiran dan ide-ide ISIS masih belum bisa ditindak. Bahkan seandainya sudah ada kata-kata dalam grup bahwa ada seseorang yang akan melakukan amaliyah pun aparat masih belum bisa melakukan penindakan hukum. Paling banter aparat kemudian hanya mendapatkan early warning bahwa akan ada yang melakukan amaliyah.


Tapi siapa, bagaimana modusnya, di mana, kapan tepatnya? Sama sekali belum bisa terbaca. Aparat biasanya kemudian hanya bisa meningkatkan pemantauan tapi belum bisa menindak (menangkap). Mengapa bisa begitu?


Karena sekali lagi perlu adanya alat bukti yang memperkuat dugaan. Perlu alat bukti yang bisa dijadikan landasan untuk melakukan penindakan hukum sebagai langkah pencegahan. Alat bukti itu sejauh yang saya tahu adalah tindakan-tindakan yang terpantau mengarah pada tahapan untuk melakukan aksi teror.


Misalnya; membeli bahan-bahan kimia untuk diolah jadi bahan bom, membeli persenjataan, atau melakukan pelatihan kemiliteran, dan lain-lain.


Tapi bagaimana jika yang digunakan untuk beraksi adalah senjata yang tidak bisa terpantau proses pembeliannya seperti pisau atau senjata tajam yang umum dimiliki masyarakat? Atau bagaimana jika si pelaku tidak perlu melakukan pelatihan khusus untuk aksi yang akan dilakukannya?


Inilah yang terjadi pada kasus penusukan bapak Menkopolhukam dan beberapa kasus sejenis yang terjadi belakangan ini. Persiapan mereka tidak terdeteksi karena hanya menggunakan pisau sebagai senjata untuk melakukan amaliyah dan tidak perlu melakukan pelatihan khusus. Di luar negeri ada juga yang sering terjadi dan mirip seperti ini sehingga sulit dideteksi seperti modus menabrakkan truk atau mobil ke target serangan.


Keinginan mereka untuk terus menunjukkan eksistensi kelompok mereka melalui aksi-aksi seperti itu membuat mereka terus berimprovisasi dalam aksi-aksinya. Intinya mereka ingin membuat sebuah kejutan dalam setiap aksi mereka. Sehingga muncul ide-ide untuk melakukan aksi-aksi sederhana yang sulit terbaca oleh pemantauan aparat keamanan.


Setiap hari yang mereka pikirkan adalah mencari peluang dan celah keamanan. Sementara kita banyak urusan lain yang lebih penting daripada sekadar memikirkan apa yang kira-kira akan mereka lakukan terhadap kita.


Ini mirip-mirip dengan peperangan antara akal kita melawan hawa nafsu kita. Hawa nafsu yang ditunggangi setan setiap saat selalu ingin menyesatkan kita, sementara kita menggunakan akal untuk banyak hal lain dan tidak sekedar menghadapi hawa nafsu. Itulah kemudian yang menyebabkan kita seringkali kalah oleh hawa nafsu pada beberapa kondisi.


Apakah ketika dalam beberapa kondisi kita kalah oleh hawa nafsu lalu kita disebut sebagai manusia yang gagal? Ya memang pasti gagal pada beberapa keadaan, tetapi selama mayoritas keadaan kita memenangkan pertempuran, kita belum bisa disebut sebagai pecundang. Semakin banyak yang kita menangkan semakin baik nilai kita sebagai hamba di hadapan Tuhan.


Maka demikian pula dengan kondisi negara dan bangsa kita. Mungkin dalam beberapa keadaan kita gagal, tapi bukan berarti semuanya gagal. Masih banyak yang tetap berkembang positif. Jadi, jangan sampai karena nila setitik rusak susu sebelanga. Jangan sampai karena kegagalan mengantisipasi aksi penusukan Bapak Menkopolhukam lalu kita hilang kepercayaan terhadap negara ini.



sumber foto: istimewa

Komentar

Tulis Komentar