Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Keterlibatan dalam Lingkar Terorisme

Other

by Rizka Nurul

Hari ini (25/11) merupakan peringatan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Selama 16 hari ke depan hingga 10 Desember, masyarakat dunia didorong untuk mengkampanyekan anti kekerasan terhadap perempuan.

Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva & Maria Teresa). Pada 25 November 1960, ketiganya meninggal akibat pembunuhan keji yang dilakukan oleh kaki tangan pengusasa diktator Republik Dominika.

Menurut Komnas Perempuan, ada beberapa jenis kekerasan yang dialami perempuan yaitu secara fisik, emosional atau psikis, kekerasan ekonomi hingga pembatasan aktivitas. Kekerasa seksual merupakan kekerasan yang paling sering terjadi dengan angka 38%. Upaya penanganan terkait kekerasan ini memang masih minim di Indonesia karena terkendala pandangan di masyarakat. Selain itu, literasi masyarakat terkait kekerasan masih sangat minim.

 
Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan

Ada beberapa kategori yang telah disebutkan terkait kekerasan terhadap Perempuan menurut Komnas Perempuan. Kekerasan ini bukan hanya disebabkan oleh laki-laki atau pasangan, namun bisa jadi dilakukan juga oleh sesama perempuan dengan berbagai faktor. Lalu, apa saja bentuk kekerasan terhadap Perempuan?

  1. Kekerasan Fisik seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencekram dengan keras pada tubuh pasanan dan serangkaian tindakan fisik lainnya.

  2. Kekerasan Emosional seperti mengancam, memanggil dengan sebutan yang mempermalukan perempuan, menjelek jelekan, membuli dan lainnya

  3. Kekerasan Ekonomi seperti mengekploitasi perempuan untuk memenuhi keperluan hidup oran lain, memanfaatkan atau menguras hartanya.

  4. Kekerasan Seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga meminta hubungan seksual di bawah ancaman, dengan paksaan atau tanpa persetujuan.

  5. Kekerasan Pembatasan Aktivitas seperti melakukan upaya posesif, mengekang dan menekan perempuan membatasi kegiatannya tanpa alasan atau dengan ancaman.


 
Kekerasan terhadap Perempuan dan Terorisme

Sebelum era ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), perempuan Indonesia telah terlibat dalam lingkaran terorisme. Beberapa nama seperti Arina Rahmah (istri Noordin M Top) yang ditangkap karena dianggap menyembunyikan informasi tentang suaminya. Adapun kisah Deny Carmanita, yang diduga terlibat pembuatan bom buku bersama suaminya Peppy Fernando.

Pada era ISIS, perempuan semakin banyak terlibat dalam lingkaran terorisme bahkan menjadi pelaku aksi. Beberapa perempuan gagal seperti Dian Yulia Novi, Ika Puspitasari atau Anggi Indah Kusuma. Nama Solimah, menjadi perempuan pelaku aksi terorisme yang berhasil meledakkan diri di rumahnya pada 2019 lalu. Puluhan perempuan juga terlibat dalam perencanaan aksi dan ditangkap. Puluhan ini belum termasuk ratusan deportan perempuan dan anak yang dipulangkan dari Turki karena hendak bergabung dengan ISIS di Suriah.

Peningkatan keterlibatan perempuan dalam terorisme menjadi salah satu upaya modernisasi kekerasan terhadap perempuan. Pasalnya recruitment dilakukan secara online melalui propaganda yang nampak pro pada perempuan tapi sebenarnya memanfaatkan dan mengeksploitasi perempuan. Misalnya dalam dalil-dalil ketaatan terhadap suami, digunakan banyak laki-laki untuk memaksa istri dan anaknya pindah ke Suriah.

Dalam banyak kasus juga ditemukan untuk para mantan narapidana terorisme. Stigma mantan narapidana terorisme bagi perempuan tak semudah dilepaskan seperti mantan narapidana terorisme lelaki. Mereka dianggap berbeda dibanding mantan narapidana pada biasanya dan dianggap lebih menakutkan layaknya monster.

Bukan hanya itu, sulitnya perempuan keluar dari jaringan juga menjadi masalah dalam menghentikan perempuan dari lingkaran kekerasan. Para janda pelaku teror, dianggap memiliki kebahayaan yang serupa dengan sang suami (misalnya suaminya meninggal dunia karena aksi). Pendampingan yang minim terhadap para janda ini sering kali menjadikan mereka memilih untuk menikah kembali dengan lingkaran yang sama.

Penghapusan kekerasan terhadap Perempuan di lingkaran terorisme terutama kekerasan emosional perlu dilakukan dengan pendampingan dari banyak pihak. Selain itu, literasi terhadap masyarakat juga harus ditingkatkan untuk mendorong proses disengagement dan rehabilitasi mereka.

Komentar

Tulis Komentar