Pola Perekrutan Anggota dalam Jaringan Teror (2)

Analisa

by Kharis Hadirin

Pada artikel sebelumnya, dijelaskan tentang bagaimana pola lama dalam praktek perekrutan anggota dimana di dalamnya terdapat sejumlah poin.

Dan pada tulisan kali ini, melanjutkan kembali tentang bagaimana pola perekrutan anggota dalam jaringan teror melalui pola baru.

Metode baru

Pada pola lama, proses rekrutmen lebih banyak dilakukan secara offline, yakni bertatap muka secara langsung daripada online. Sementara pada pola ini, hampir tanpa melalui proses tatap muka sama sekali.

Proses seperti ini, banyak dilakukan melalui jejaring internet seperti media sosial. Terutama melalui aplikasi Facebook, Telegram dan WhatsApp.

Media informasi, bukan saja berfungsi untuk menyampaikan pesan, sebagai alat komunikasi, merekrut massa, maupun tujuan komersial. Tetapi, media informasi juga berfungsi untuk membentuk opini masyarakat.

Tak jarang, pesan dari media informasi bisa memicu pertikaian antar kelompok atau menimbulkan kontroversi di dunia maya. Dan salah satu dampak yang ditimbulkan oleh media informasi adalah pemberitaan mengenai tindak kriminalitas atau perilaku terorisme yang selalu dikaitkan pada narasi agama.

Manuel Castells dan Gustavo Cardosa dalam bukunya yang berjudul The Network Society: From Knowledge to Policy (dalam Purwadidada, 2014) menjelaskan bahwa perkembangan jaringan sosial (network society) saat ini dan di masa depan sangat bergantung pada, serta dipengaruhi oleh perkembangan teknologi media. Teknologi media membuat jaringan sosial lebih luas, menembus batas-batas lingkungan sosial itu sendiri. Jaringan merupakan domain kehidupan pribadi.

Komunikasi digital adalah tulang punggung jaringan sosial. Teknologi digital memungkinkan jaringan untuk mengatasi batasan ruang. Mereka bisa pada saat bersamaan menjadi fleksibel dan adaptif berkat kapasitas untuk mendesentralisasi kerja, tapi masih mampu mengkoordinasi semua kegiatan desentralisasi tersebut  pada tujuan bersama dalam pengambilan keputusan.

Kemajuan teknologi digital dapat berakibat negatif terhadap jaringan sosial, yaitu dengan merebaknya kejahatan dan kekerasan bahkan terorisme menggunnakan internet sebagai media utama. Selain itu, teknologi digital dapat mengakibatkan munculnya jaringan individu sebagai struktur sosial dan evolusi sejarah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa perekrutan anggota melalui metode lama cukup aman dan relatif bersih dari upaya infiltrasi oleh pihak tertentu. Namun, tentu ini akan memakan waktu cukup lama tapi efektif.

Sementara proses perekrutan dalam metode baru, cenderung singkat dan tidak memakan waktu lama. Hanya saja, metode seperti ini sangat rentan adanya upaya infiltrasi dan tidak sepenuhnya aman.

Dalam konteks ini, proses keterlibatan jaringan tidak lagi melalui pola lama dan adanya  proses yang panjang. Bahkan seorang calon anggota bisa datang dari latar belakang yang selama ini tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Dan tentu, ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah kedepannya dalam upaya menggerus berbagai propaganda yang mendorong individu untuk terlibat dalam aksi teror. Di satu sisi, media sosial juga ibarat pisau bermata dua, bisa berperan positif namun terkadang juga negatif bergantung siapa penggunanya dan untuk tujuan apa.

Sebagai contoh nyata dampak negatif dari sosial media. Pada kasus Azhar Basir, seorang pemuda asal Lamongan, Jawa Timur dan Robi Rubiansyah. Keduanya terjebak dalam lingkaran terorisme justru bermula dari media sosial.

Adanya kesamaan prinsip dan sudut pandang membuat mereka saling berjejaring dan membentuk kelompok ‘bayangan’. Yakni, melakukan konsolidasi dan perencanaan aksi dengan tanpa harus bertatap muka melainkan hanya lewat sosial media.

Bahkan media sosial juga bisa menjadi sarana untuk melakukan prosesi sumpah bai’at, tanpa harus bertemu secara langsung.

 

Link foto: https://www.jalsasalana.org.uk/index.php/2017/07/19/preparations-underway-for-51st-jalsa-salana-uk/

Komentar

Tulis Komentar