Radikalisme di Era Digital: Tantangan Keluarga dan Respons Hukum di Singapura dan Indonesia

Analisa

by Noor Huda Ismail Editor by REDAKSI

Bagaimana era digital mengubah konstelasi penyebaran radikalisme? Apa saja tantangan yang muncul, dan bagaimana dua negara tetangga, Indonesia dan Singapura, menyikapi kondisi ini? Pertanyaan-pertanyaan itulah antara lain yang diupayakan jawabannya dalam diskusi hukum Nge-TEH (Ngobrol tentang Hukum) yang rutin diadakan Atase Kejaksaan KBRI Singapura pada 28 Februari lalu. Diskusi kali ini bertema Tantangan Keluarga di Era Digital: Ancaman Radikalisme Online, menghadirkan dua narasumber berpengalaman di bidang keamanan dan hukum, yaitu KOMBES POL Indra Fadhillah Siregar, S.H., S.I.K., M.H., Atase POLRI di KBRI Singapura, serta Dr. Noor Huda Ismail, analis keamanan dan Visiting Fellow di RSIS, NTU Singapore. Acara dimoderatori Ibu Mahayu D. Suryandari, Atase Kejaksaan KBRI Singapura.

Menilik Radikalisme dalam Konteks Digital

Radikalisme bukanlah fenomena baru, tetapi di era digital, penyebarannya menjadi semakin luas dan cepat. Internet, media sosial, hingga gim daring telah menjadi wahana utama bagi kelompok ekstremis untuk menyebarkan ideologi mereka. Anak-anak dan remaja yang menghabiskan banyak waktu berselancar di dunia digital menjadi sasaran empuk bagi propaganda ini.

Memberi pengantar diskusi, Ibu Mahayu menegaskan bahwa kata radikal sendiri sebenarnya bernilai netral. Namun, dalam konteks pembahasan ini, radikalisme yang dimaksud mengacu pada tindakan ekstrem yang mengarah pada kekerasan serta mengancam stabilitas dan keamanan negara. Fenomena yang dapat berkembang menjadi aksi terorisme jika tidak ditangani dengan baik.

Pendekatan Hukum Singapura vs. Indonesia

Singapura memiliki dua pendekatan hukum utama dalam menangani radikalisme, yaitu Harmony Act dan Internal Security Act (ISA). Berdasarkan ISA, pihak berwajib memiliki wewenang melakukan penahanan dalam upaya pencegahan (detention for prevention). Internal Security Department di Singapore Police Force bertanggung jawab mengimplementasikan ISA ini, memungkinkan pemerintah menindak ancaman radikalisme secara cepat dan efektif.

Sebaliknya, pendekatan hukum di Indonesia dinilai belum setajam Singapura atau Malaysia. Celah hukum ini sering dimanfaatkan  kelompok ekstremis untuk beroperasi secara  lebih leluasa. Bapak Indra Fadhillah Siregar pun menyoroti bahwa lemahnya mekanisme hukum di Indonesia menjadi perhatian penting dalam strategi penanggulangan terorisme.

Radikalisme dalam Media Sosial dan Gim Daring

Salah satu tantangan besar di era digital adalah meningkatnya paparan terhadap ideologi ekstrem. Melalui media sosial dan gim daring, anak-anak dan remaja dapat dengan mudah melihat, mendengar, dan menyerap konten kekerasan secara berulang, yang pada akhirnya membentuk persepsi bahwa kekerasan adalah hal yang normal. Familiarisasi terhadap kekerasan inilah yang menjadi faktor utama dalam mendorong radikalisasi digital.

Di sinilah peran orang tua dan Cyber Force di kepolisian menjadi sangat penting dalam membendung arus radikalisme di dunia maya. Menurut Kombes. Pol. Indra, salah satu faktor psikologis yang mendorong seseorang menjadi radikal adalah Self-Serving Bias, sebuah kondisi kejiwaan saat seseorang atau sebuah kelompok merasa diri mereka adalah satu-satunya yang benar, sementara pihak lain dianggap salah. Jika pola pikir ini semakin mengakar, seseorang bisa terdorong melakukan aksi teror, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun teror psikologis.

Dr. Noor Huda Ismail menekankan pentingnya orang tua memahami pengaruh dunia Cyber menyebarkan paham radikalisme  kepada anak dan remaja. (Dok. Ruangobrol.id) 

Kasus Radikalisme Terkini di Singapura

Sementara itu Dr. Noor Huda Ismail juga menyoroti kasus radikalisme yang baru-baru ini terjadi di Singapura, yang berkaitan dengan ISIS dan supremasi Tionghoa. Fenomena ini menunjukkan bahwa radikalisme tidak hanya berasal dari kelompok agama tertentu, tetapi juga bisa muncul dari ideologi ekstrem berbasis ras dan nasionalisme, sebagaimana yang terjadi dalam gerakan white supremacy di Barat.

Melalui pendekatan Mowo Deso, Mowo Coro—sebuah pepatah Jawa yang berarti “setiap daerah memiliki cara hidupnya sendiri”— Dr. Noor Huda menekankan pentingnya memahami konstruksi sosial di tempat seseorang tinggal. Karenanya dia menegaskan bahwa memahami sejarah merupakan elemen krusial dalam menangkal narasi ekstremisme.

Sebagai contoh, ketakutan negara-negara Barat terhadap kehilangan dominasi globalnya telah menciptakan tendensi emosional untuk menyalahkan pendatang yang sukses, atau yang dikenal sebagai konsep otherness. Kurangnya literasi sejarah dan wawasan geopolitik memperburuk situasi ini, mempersulit individu untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial yang heterogen.

Literasi Hukum sebagai Benteng Perlindungan

Menanggapi diskusi, Ibu Mahayu menambahkan bahwa literasi hukum juga berperan penting dalam membangun ketahanan terhadap radikalisme. Mengetahui peraturan hukum yang berlaku di suatu negara, dapat mencegah individu-individu di negara itu dari terjebak  tindakan ilegal yang berpotensi berujung pada pidana.

Kesenjangan antara harapan dan realitas (gap between expectancy and reality) sering kali menjadi pemicu munculnya wild imagination, yang pada akhirnya dapat memicu tindakan ekstrem. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman mendalam tentang 3N: Needs, Network, dan Narrative—yakni mengenali kebutuhan psikologis, jaringan pertemanan, dan narasi yang membentuk cara pandang seseorang.

Dalam upaya melawan The Danger of Single Narrative atau bahaya dari narasi tunggal, kita perlu memperluas wawasan dan sudut pandang  terhadap berbagai hal. Tidak hanya berpikir kritis, tetapi juga berpikir  konstruktif. Literasi adalah kunci utama  membangun ketahanan keluarga terhadap pengaruh negatif radikalisme di era digital.

Sebagai penutup, diskusi Nge-TEH ini menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga dalam menghadapi tantangan radikalisme digital. Semoga upaya ini dapat melindungi kita semua dari dampak buruk ekstremisme, dan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih aman dan harmonis.[ ]

Komentar

Tulis Komentar