Biografi Singkat Al-Maqdisi
Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi, nama aslinya Isam Muhammad Tahir al-Barqawi, lahir pada tahun 1959 di Barqa, Palestina. Ia tumbuh di Kuwait dan menyelesaikan pendidikan dasarnya di sana. Al-Maqdisi kemudian melanjutkan studinya di Universitas Mosul, Irak, namun tidak menyelesaikannya. Ia lebih tertarik mempelajari agama secara otodidak dan melalui halaqah-halaqah informal.
Pada 1980-an, Al-Maqdisi mulai dikenal sebagai ideolog jihad yang berpengaruh. Ia menulis banyak buku dan risalah yang menjadi rujukan kelompok-kelompok jihadis di berbagai negara. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah "Millah Ibrahim" (Agama Ibrahim), yang menjadi semacam "manifesto" bagi gerakan jihad global.
Al-Maqdisi pernah tinggal di Afghanistan selama periode pertama 1987 saat jihad melawan Soviet. Di sana, ia bertemu dengan banyak tokoh jihadis termasuk Abdullah Azzam dan Osama bin Laden. Namun, ia tidak setuju dengan beberapa pendekatan mereka dan kembali ke Yordania pada awal 1990-an.
Di Yordania, Al-Maqdisi ditangkap beberapa kali karena aktivitas dan tulisan-tulisannya yang dianggap menghasut. Ia menghabiskan lebih dari 15 tahun di penjara, dengan beberapa kali keluar masuk. Selama di penjara, ia terus menulis dan pemikirannya tetap berpengaruh di kalangan jihadis.
Titik Balik Sebuah Pemikiran
Setelah bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia jihad dan mengalami langsung dampak dari ideologi radikal, Al-Maqdisi mulai meninjau ulang beberapa aspek pemikirannya. Proses ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan bertahap dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pengalaman pribadinya, perkembangan situasi global, dan dialog dengan berbagai pihak.
Berikut adalah beberapa aspek penting dari Taroju’aat (peninjauan ulang) pemikiran Al-Maqdisi:
1. Konsep Takfir (Mengkafirkan)
Pemikiran lama: Sebelumnya, Al-Maqdisi cenderung mudah mengkafirkan pemerintah dan masyarakat Muslim yang tidak menerapkan syariat Islam secara total. Ia menganggap mereka telah keluar dari Islam dan menjadi target jihad.
Pemikiran baru: Al-Maqdisi kini lebih berhati-hati dalam masalah takfir. Ia menekankan bahwa mengkafirkan seseorang atau kelompok adalah masalah yang sangat serius dan tidak boleh dilakukan sembarangan.
Dalil dan argumen: Al-Maqdisi merujuk pada hadits Nabi Muhammad SAW: "Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: 'Wahai kafir', maka tuduhan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ia juga mengutip perkataan Ibnu Taimiyah: "Tidak semua orang yang jatuh dalam kekufuran otomatis menjadi kafir, karena bisa jadi ia tidak mengetahui atau tidak memahami."
Syaikh Al-Maqdisi berargumen bahwa kita harus membedakan antara kekufuran sebagai tindakan dan mengkafirkan seseorang sebagai individu. Yang kedua memerlukan pertimbangan yang sangat hati-hati dan tidak bisa dilakukan tanpa memenuhi syarat-syarat tertentu.
2. Jihad dan Kekerasan
Pemikiran lama: Dahulu, Syaikh Al-Maqdisi cenderung membenarkan penggunaan kekerasan sebagai cara utama dalam sebuah perjuangan. Beliau menganggap jihad bersenjata sebagai kewajiban individual (fardhu 'ain) bagi setiap Muslim.
Pemikiran baru: Sekarang, Al-Maqdisi lebih menekankan jihad dalam bentuk dakwah, pendidikan, dan perbaikan diri. Ia mengkritik penggunaan kekerasan yang berlebihan dan menyebabkan kerugian bagi umat Islam sendiri.
Dalil dan argumen: Al-Maqdisi mengutip ayat Al-Quran: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (An-Nahl: 125)
Ia juga merujuk pada sejarah Nabi Muhammad SAW yang lebih banyak menggunakan metode damai dalam berdakwah, terutama di periode Mekah. Al-Maqdisi berargumen bahwa kondisi umat Islam saat ini lebih mirip dengan periode Mekah, di mana fokus utama seharusnya adalah membangun pemahaman dan kesadaran, bukan konfrontasi fisik.
3. Hubungan Dengan Non-Muslim
Pemikiran lama: Sebelumnya, Al-Maqdisi cenderung melihat non-Muslim, terutama Barat, sebagai musuh yang harus diperangi. Ia mendorong isolasi dari masyarakat non-Muslim.
Pemikiran baru: Kini, Al-Maqdisi mengakui pentingnya hubungan baik dan dialog dengan non-Muslim. Ia menekankan bahwa Islam mengajarkan keadilan dan berbuat baik kepada semua manusia, terlepas dari agama mereka.
Dalil dan argumen: Al-Maqdisi mengutip ayat Al-Quran: "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu selama agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (Al-Mumtahanah: 8)
Beliau juga merujuk pada praktik Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yang menjalin perjanjian dan hubungan baik dengan non-Muslim di Madinah. Al-Maqdisi berargumen bahwa umat Islam saat ini perlu berinteraksi positif dengan dunia global untuk menyampaikan pesan Islam yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam).
4. Sistem Sebuah Pemerintahan
Pemikiran lama: Syaikh Al-Maqdisi menolak total semua bentuk sistem pemerintahan selain "khilafah" versi yang beliau pahami. Dan menganggap demokrasi dan nasionalisme sebagai bentuk anak keturunan sebuah kekufuran.
Pemikiran baru: Sekarang, meski beliau tetap meyakini bahwa sistem Islam adalah yang terbaik, Al-Maqdisi lebih realistis dalam melihat realitas politik modern. Ia mengakui bahwa beberapa aspek dari sistem demokrasi, seperti musyawarah (syura) dan akuntabilitas pemimpin, sebenarnya sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
Dalil dan argumen: Al-Maqdisi mengutip ayat Al-Quran tentang syura: "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka." (Asy-Syura: 38)
Beliau juga merujuk pada praktik Khulafa ar-Rasyidin yang sering bermusyawarah dan meminta pertanggungjawaban dari para gubernur mereka. Al-Maqdisi berargumen bahwa esensi dari sistem pemerintahan yang baik adalah keadilan, kesejahteraan rakyat, dan penerapan nilai-nilai Islam, terlepas dari bentuk formalnya.
5. Metodologi Perubahan
Pemikiran lama: Sebelumnya, Al-Maqdisi cenderung mendukung perubahan radikal dan revolusioner, bahkan melalui kekerasan jika perlu.
Pemikiran baru: Kini, ia lebih menekankan perubahan bertahap melalui pendidikan, dakwah, dan partisipasi sosial-politik yang konstruktif. Al-Maqdisi mengakui bahwa perubahan yang berkelanjutan membutuhkan proses panjang dan kesabaran.
Dalil dan argumen: Al-Maqdisi mengutip hadits Nabi Muhammad SAW: "Sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam segala hal." (HR. Bukhari dan Muslim)
Beliau juga merujuk pada sejarah dakwah para nabi yang kebanyakan bersifat bertahap dan sabar menghadapi tantangan. Al-Maqdisi berargumen bahwa perubahan yang terlalu cepat dan radikal sering kontraproduktif dan menimbulkan resistensi yang lebih besar.
Sebuah Tantangan dan Kritik
Perubahan pemikiran Al-Maqdisi tidak lepas dari kritik dan tantangan diantaranya:
1. Beberapa pengikut lamanya menganggap ia telah "melunak" dan mengkhianati prinsip-prinsip jihad.
2. Sebagian pihak masih skeptis dan menganggap perubahan ini hanya taktis, bukan perubahan substansial.
3. Syaikh Al-Maqdisi sendiri menghadapi dilema dalam menjelaskan sikap barunya tanpa sepenuhnya menafikan pemikiran lamanya.
Namun, Al-Maqdisi tetap konsisten dalam menyuarakan pola pemikiran barunya. Beliau tetap aktif menulis, memberikan ceramah (ketika sebelum di penjara), dan berdialog dengan berbagai pihak untuk menjelaskan evolusi pemikirannya.
Kesimpulan
Perjalanan intelektual Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi menunjukkan bahwa perubahan pemikiran adalah sesuatu yang mungkin, bahkan bagi tokoh yang pernah dianggap sangat radikal. Dalam sebuah konversi pemikiran Taraju’aat (Peninjauan ulang) telah nampak sebuah cara berfikir yang mencerminkan kematangan dan keterbukaan untuk selalu belajar dari pengalaman dan realitas fakta yang ada.
Evolusi dan konversi dalam pemikiran Syaikh Al-Maqdisi juga menegaskan adanya fleksibilitas dan dinamika dalam sebuah pemikiran Islam. Konversi ini telah menunjukkan kepada dunia, bahwa Islam, sebagai agama yang komprehensif, memiliki kapasitas untuk merespons sebuah tantangan zaman tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.
Pertarungan narasi dalam pemikiran seorang Syaikh Al-Maqdisi memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya sebuah dialog, refleksi kritis, dan keterbukaan pikiran dalam menghadapi ekstremisme. Beliau juga mengingatkan, bahwa konversi sebuah ideologi membutuhkan proses panjang dan kompleks, tidak bisa dicapai hanya melalui pendekatan keamanan semata.
Terlepas dari kontroversi yang masih menyelimuti sosoknya, kontribusi Al-Maqdisi dalam mendorong moderasi di kalangan mantan jihadis patut diapresiasi. Pengalamannya bisa menjadi pelajaran berharga dalam upaya deradikalisasi dan pencegahan ekstremisme di masa depan.
Akhirnya, perjalanan Syaikh Al-Maqdisi mengingatkan kita bahwa di balik label-label ideologis, masih ada hamba Allah yang terus berpikir, merenungkan, dan berpotensi untuk berubah. Hal ini memberikan sebuah harapan bahwa dialog dan pendekatan yang bijak masih sangat mungkin untuk dilakukan, bahkan dengan mereka yang pernah terpapar radikalisme hingga berada di ujung ekstrem spektrum pemikiran.
Surabaya 15 Juli 2024
Abu Fida
(Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies PPs UIN Sunan Ampel Surabaya)
[Ilustrasi Foto: Istimewa]
Komentar