Sejak awal kemunculannya dengan menunggangi Arab Spring, ISIS bukan hanya telah menularkan teror dan kekerasan ke seluruh penjuru dunia. Namun, kelompok teror yang juga lahir dari rahim al-Qaeda ini telah menunjukkan bagaimana kelompok teror telah mengalami evolusi, terutama dengan turut memanfaatkan kemajuan teknologi -- dari penggunaan media sosial sebagai alat propaganda dan rekrutmen, hingga pemanfaatan teknologi finansial untuk pendistribusian dana teror.
Peningkatan yang sangat signifikan tampak dalam apa yang disebutkan terakhir di atas. Pendanaan memang menempati posisi yang krusial dalam kelompok teror. Karena tanpa pendanaan, aksi teror akan sulit dilakukan. Beberapa aksi terorisme yang pernah terjadi di Indonesia, tercatat melibatkan beberapa transaksi keuangan lintas negara dengan mengunakan sejumlah platform keuangan hingga alat tukar kripto. Semua itu dapat ditemukan dalam tragedi Thamrin pada akhir tahun 2015, bom Mapolresta Surakarta 2016, hingga sejumlah rencana aksi teror yang berhasil digagalkan oleh Densus 88 Anti Teror Polri.
Penggunaan berbagai platform keuangan sebagai media distribusi lintas negara, hingga kini juga masih terjadi meskipun eskalasi konflik dan perang di Suriah telah jauh menurun. Hanya saja, arah dan fokus distribusi dana tersebut kini berubah. Jika dulu kelompok teror lokal Indonesia yang berafiliasi dengan ISIS yang mendapatkan kucuran dana untuk melakukan aksi teror, kini yang terjadi adalah sebaliknya. Sejumlah kelompok pendukung ISIS di Indonesia kini justru menghimpun dana dan mengirimkannya ke Suriah dengan fokus untuk membantu para penghuni kamp pengungsian, terutama yang menempati kamp Al-Hol, yang notabene para mantan pendukung ISIS, untuk dapat bertahan hidup.
Lantas, jika dukungan finansial lintas negara ini masih terjadi, apakah mungkin akan terjadi pergeseran pemahaman dan ideologi menuju pertaubatan? Bahkan, apakah mungkin dana yang yang dikirimkan bisa digunakan untuk kabur dari kamp pengungsian dan bergabung dengan kelompok teror di tempat lain atau bahkan untuk pulang ke Indonesia melalui jalur penyelundup?

Penggalangan Dana untuk Rumah Singgah
Sejak beberapa dekade, keberadaan rumah singgah telah menemani dinamika kelompok teror di Indonesia. Rumah singgah yang awalnya didirikan oleh para pendukung kelompok teror sejak masa awal JI (Jama’ah Islamiyah) di beberapa tempat, hanya menjadi tempat persinggahan keluarga para narapidana terorisme (napiter). Semula mereka mendatangi rumah singgah karena ingin mengunjungi para narapidana di dalam penjara. Namun kemudian rumah singgah mengalami perluasan fungsi; dari yang tadinya hanya sebatas tempat persinggahan, tak jarang justru menjadi tempat tinggal permanen keluarga para narapidana teror. Paling tidak, hingga saat kebebasan para narapidana dari penjara.
Akibatnya, para pengelola rumah singgah dari kelompok teror ini pun harus melakukan pengumpulan dana dari para simpatisan, demi memenuhi biaya hidup para keluarga napiter di rumah singgah. Kebutuhan itu pun lambat laun meluas dari sekadar untuk biaya hidup, berkembang hingga biaya untuk pembangunan tempat tinggal dan sarana pendidikan eksklusif untuk anak-anak para napiter dan simpatisannya.
Bagaimanapun, pendanaan rumah singgah tersebut ternyata memunculkan efek yang meluas, bukan sekadar soal kesempatan hidup para keluarga napiter. Mereka berimbas juga terhadap program deradikalisasi yang dijalankan bersama oleh kementerian dan lembaga seperti BNPT, Densus 88, Ditjenpas dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Para napiter yang merasa kehidupan keluarganya telah dijamin oleh kelompoknya, tentu saja akan merasa lebih nyaman dan merasa tidak perlu melebur dengan kelompok masyarakat yang lebih luas. Lebih jauh, mereka bisa saja merasa tidak butuh untuk mengikuti program radikalisasi, tetap merasa nyaman berkumpul dengan kelompoknya, dan bahkan bersikeras pada pandangan awal mereka yang memotivasi berbagai perilaku ekstrem dan aksi kekerasan. Penggalangan dana rumah singgah pun berisiko melahirkan generasi baru kelompok teror dari pendidikan eksklusif yang mereka kembangkan. Bahkan berkaca pada beberapa penangkapan yang terjadi, dana tersebut ternyata juga digunakan untuk aksi teror yang melibatkan para pengurusnya.
Menutup Celah Pendanaan Demi Perubahan
Penggalan pengalaman di atas seharusnya menjadi landasan bagi pemerintah secara tuntas menutup celah-celah pendanaan kelompok-kelompok teror, baik untuk mereka yang berada di dalam negeri maupun yang di luar negeri. Bukan sekadar mengawasi transaksi keuangan ke negara konflik, pemerintah dapat meminta lembaga keuangan terkait untuk melakukan klarifikasi dan verifikasi mendalam mengenai transaksi tersebut agar transaksi keuangan kelompok atau individu terkait teror tidak terjadi.
Tidak cukup berhenti di situ, pemerintah secara parsial juga seyogyanya melakukan intervensi dengan mengunjungi kamp-kamp pengungsian kawasan konflik, melakukan assesment terhadap warga negara Indonesia yang masih berada di sana dan melakukan repatriasi berkala terhadap para WNI yang telah memenuhi persyaratan. Tindakan ini bukan hanya untuk menyelamatkan warga Indonesia di daerah konflik, namun juga untuk memutus rantai operasi kelompok teror di dalam maupun di luar negeri.[]
Komentar