Di akhir tahun 2019 kemarin saya mencoba mencatatkan beberapa poin hasil refleksi pribadi. Ada hal-hal yang berjalan tidak sebagaimana harapan dan rencana, tetapi justru ada hal-hal luar biasa yang tak terduga yang terjadi. Di mana hal itu membuat saya berfikir ulang, mungkin yang terjadi di luar harapan itulah yang sebenarnya saya butuhkan.
Kisah refleksi ini akan saya mulai sejak saya bebas dari lembaga pemasyarakatan (lapas) pada akhir Oktober 2017 yang lalu.
Pada saat menjelang bebas itu yang saya inginkan sebenarnya adalah sebuah pekerjaan yang tidak hanya hanya bisa membahagiakan saya, tetapi orang-orang di sekitar saya. Tapi jika ditanya pekerjaan apa itu, sejujurnya saya tidak tahu. Hanya saja, saya punya keahlian dan pengalaman di usaha membuat dan menjual roti.
Makanya ketika ditanya oleh Bapak Kapolres Tuban yang berkunjung ke rumah seminggu setelah saya bebas, saya hanya bisa menjawab saya ingin membantu usaha orangtua budidaya burung murai batu yang sudah berjalan.
Pada saat itu saya meyakini, bahwa dengan membantu orangtua akan terbuka peluang rezeki yang lebih besar. Saya hanya ingin fokus meyakinkan orangtua bahwa saya benar-benar ingin jadi anak yang berbakti.
Di samping itu saya juga ingin apa yang telah saya persiapkan sejak dari lapas dapat apresiasi. Ada buku kecil berisi refleksi pemikiran atau lebih tepatnya curhatan saya dan sebuah novel dalam bentuk tulisan tangan. Sedari dulu saya selalu ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang. Dan dengan menulis catatan refleksi dan novel saya setidaknya ingin menginspirasi banyak orang.
Akhirnya pintu untuk mendapatkan apresiasi itu terbuka ketika di ahir November 2017 Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia (PRIK-KT UI) ‘membeli’ hak penerbitan atas buku kecil catatan refleksi pemikiran saya itu.
Sebagai tahapan yang harus saya lewati sebelum buku itu layak terbit, saya diundang untuk membedah buku itu di kampus UI Salemba di hadapan para mahasiswa S2 Sekolah Kajian Stratejik Global. Tujuannya untuk menjaring masukan dari para audiens guna melengkapi isi buku agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Luar biasa. Saya harus berbicara di hadapan para mahasiswa S2 dan menjawab pertanyaan mereka. Grogi pasti. Lha biasanya yang dihadapin tembok penjara dan para kriminal...hehehe...!
Uang yang saya peroleh dari pembelian hak penerbitan buku itu lalu saya belikan seperangkat PC bekas untuk mulai menulis revisi dan tambahan dari buku tersebut. Pertengahan Februari 2018 saya sudah menyelesaikan revisinya yang jauh lebih banyak dari tulisan awal.
Lalu setelah itu mulailah saya menulis novel saya ke dalam format digital. Saya bersemangat sekali karena ada karya tulis saya yang sudah laku. Bagian pertama novel yang merupakan dwilogi itu saya selesaikan di awal Maret 2018. Saya kebut pengerjaannya karena saya ingin bawa bagian pertama itu ke acara pelatihan komunikasi yang diadakan oleh Kreasi Prasasti Perdamaian yang merupakan sayap komunikasi Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP).
Saya mendapat lampu hijau untuk hadir di acara tersebut meski bukan termasuk peserta yang diundang. Saya datang dengan biaya sendiri dengan harapan bisa mendapatkan peluang agar novel saya bisa diterbitkan oleh YPP. Atau setidaknya akan mendapat supervisi dan bantuan untuk menemukan pihak-pihak yang mau menerbitkannya.
Tapi yang terjadi malah di luar ekspektasi. Saya mendapatkan lebih dari yang diharapkan. Meskipun novel itu tidak – untuk sementara – tidak ditindaklanjuti, tetapi saya ditawari untuk menjadi kontributor di ruangobrol.id dan menulis buku tentang pengaruh internet pada pola radikalisasi di Indonesia berdasarkan pengalaman saya.
Buku yang kini telah diberi judul tetap “Internetistan : Jihad Zaman Now” dan sedang menunggu proses finishing di bagian desain/layout itu saya tulis dalam waktu kurang lebih tiga bulan. Namun kemudian ketika masuk proses di editor, mendapatkan masukan di sana-sana sini sehingga harus direvisi berkali-kali sampai sudah dianggap cukup layak untuk diterbitkan.
(Bersambung)
ilustrasi: pixabay.com
Komentar