Pesona Pesantren Terafiliasi Kelompok Jamaah Islamiyah (2)

Other

by Arif Budi Setyawan



Definisi Pesantren Terafiliasi Kelompok Jamaah Islamiyah

Pertama yang akan dibahas adalah: apa definisi atau kriteria sebuah pesantren disebut terafiliasi dengan kelompok Jamaah Islamiyah (JI)?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya sempat berdiskusi panjang dengan beberapa ustadz pesantren terafiliasi JI di Lampung yang telah melakukan ‘islah’ dan menjadi klien pendampingan kami. Dari pengalaman mereka ketika menjawab pertanyaan dari pihak Densus 88 dalam rangkaian proses pra-islah, setidaknya ada empat indikator yang dianggap sebagai kriteria sebuah pesantren terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah.

Keempat indikator itu adalah:

  1. Pernah menerima bantuan beasiswa dari LAZ ABA (Lembaga Amil Zakat Abdurrahman Bin Auf), yaitu lembaga fundraising milik JI.

  2. Pernah menampung anak DPO kasus terorisme dari kelompok JI.

  3. Ada anggota JI di pesantren tersebut.

  4. Kurikulumnya mengacu pada kurikulum yang disepakati oleh FKPP JI (Forum Komunikasi Pondok Pesantren Jamaah Islamiyah)


Dari diskusi kami lebih lanjut, keempat indikator itu menurut kami ada yang khusus dan ada yang umum. Dua poin pertama adalah indikator khusus yang hanya terjadi pada sebagian kecil pesantren terafiliasi JI. Sedangkan dua poin yang terakhir adalah indikator umum yang ada di hampir semua pesantren yang terafiliasi JI.

Dengan kata lain, didapatkan kesimpulan bahwa secara umum ada dua ciri khas pesantren terafiliasi Jamaah Islamiyah. Yaitu ada orang JI di pesantren itu dan kurikulum yang diadopsi di pesantren tersebut. Dari dua ciri khas ini, kurikulum yang diadopsi menjadi yang utama atau pokoknya.

Sehingga misalnya ada anggota JI yang diminta mengajar di sebuah pesantren atau sekolah tetapi kurikulumnya tidak mengikuti kurikulum khas JI maka seharusnya menurut kami belum bisa disebut pesantren terafiliasi JI.

Ciri khas kurikulum pesantren terafiliasi JI adalah pada penggunaan kitab-kitab rujukan atau pegangan yang diajarkan dalam bab aqidah dan syariat, di antaranya: Kitabul Iman atau Aqidah Thohawiyah (Aqidah untuk tingkat Tsanawiyah/tiga tahun pertama), Kitab Tauhid (Aqidah untuk Aliyah/tiga tahun kedua), dan Minhajul Muslim (untuk fiqh dan adab/akhlak).

Sedangkan kurikulum pesantren untuk pelajaran di luar aqidah dan syariat, setiap pesantren sudah biasa melakukan improvisasi sesuai kemampuan SDM pengajar yang dimiliki.

Meskipun sejak 2010 FKPP-JI sempat mengujicobakan paket kurikulum yang baru pada beberapa pesantren terpilih untuk percontohan, namun mayoritas pesantren terafiliasi JI masih mengacu pada kurikulum lama hingga saat ini.
Sebagai buktinya, nama-nama kitab yang saya sebutkan di atas itu masih sama dengan yang dipakai di pesantren Al Islam tempat saya pernah jadi santri di tahun 1995-1998. Setidaknya ini terbukti pada pesantren yang menjadi klien pendampingan kami di Lampung.

Berdasarkan pengalaman saya sebagai mantan santri pesantren terafiliasi JI, kurikulum pesantren yang dianut oleh pesantren-pesantren terafiliasi JI sebenarnya tidak ada masalah bila para ustadz pengajarnya berhaluan moderat, tidak eksklusif, dan mengajarkan keterbukaan pemikiran terhadap pendapat-pendapat di luar kelompoknya.

Meskipun demikian, secara pribadi saya berpendapat akan lebih baik lagi bila kurikulum itu diubah menjadi yang lebih menekankan pada Islam Wasathiyah yang sesuai dengan kondisi Islam di Indonesia.

Kesamaan kurikulum pesantren yang bisa dilihat dari kesamaan kitab rujukan dalam pelajaran aqidah dan syariat itu tentu ada penyebabnya. Yaitu karena mayoritas pendiri pesantren terafiliasi JI merupakan alumni Pesantren Al Mukmin Ngruki Sukoharjo, atau murid dari alumni Pesantren Al Mukmin. Artinya sanad kurikulum itu mengacu pada Al Mukmin di era 90-an (era sekarang bisa jadi sudah berubah).

Lalu mengapa banyak alumni Al Mukmin yang mendirikan pesantren? Apa visi dan misi pesantren yang mereka dirikan?

(Bersambung)

Komentar

Tulis Komentar