Media dan Terorisme: Membumikan Isu Yang Berkelindan

Other

by Boaz Simanjuntak

Saat publik menonton video di media sosial tentang mantan returnee yang pernah berada di wilayah ISIS, dan ternyata isi video tersebut berbeda dari hasil wawancara pertama sang mantan returnee, saya melihat reaksi yang berbeda. Publik memainkan perannya sebagai “ahli” dan mantan returnee pun diam. Padahal jika publik mau menilik sumber video tersebut dan membaca transkrip utuh berbentuk tulisan lengkap yang ada di laman media yang melakukan wawancara pertama kali, saya punya keyakinan bahwa reaksinya akan berbeda. Pada akhirnya, jurnalis yang lakukan wawancara awal menyesal karena liputannya dikutip dengan mengubah beberapa hal. Ia minta maaf lalu melakukan verifikasi ulang dengan menegur media yang mengutip liputannya. Video tersebut ditarik dari media sosial, namun jejak digital yang memberikan komentar tidak hilang. Ibarat anda dihajar, bekas luka bisa hilang, tapi niat untuk balas dendam bisa saja tetap ada di hati dan pikiran.

Terorisme punya tujuan supaya aksinya mendapatkan publikasi yang luas melalui media, menyebar ketakutan sekaligus menyebar ide pemikiran. Media juga punya tujuan saat meliput aksi teror, menaikkan kadar pemberitaan sensasional dan spektakuler berhubungan dengan konsumsi publik terhadap media yang meningkat. Isu kekerasan yang media beritakan ternyata berkelindan, antara kebebasan pers dan teroris yang butuh panggung untuk pertahankan eksistensi. Masalah timbul saat menerapkan prinsip kebebasan untuk memberikan informasi dan prinsip publik berhak untuk mengetahui. Dua prinsip tersebut menguntungkan teroris jika tidak disikapi hati-hati oleh media. Karena aksi teror adalah sumber berita, teroris tidak berkepentingan dengan identitas atau jumlah korban tetapi kepada banyaknya publik yang konsumsi liputan tentang terorisme.

Kerjasama dalam konteks globalisasi, dunia yang seolah tanpa batas dan kecanggihan teknologi, menjadi keuntungan bagi teroris. Brigitte Nacos dalam “Terrorism and the Media, From Iran Hostage Crisis to Oklahoma City Bombing” menjelaskan bahwa kelompok teroris punya empat tujuan universal, yaitu: menarik perhatian media, meraih pengakuan, penghormatan, dan legitimasi. Media dan publik harus tahu bahwa aksi-aksi terorisme memenuhi semua syarat pemberitaan seperti mengejutkan, membingungkan, mempermainkan emosi, dan “menghibur” karena publik menunggu kelanjutan pemberitaan, apalagi jika disiarkan langsung.

Partisipasi publik diperlukan untuk atasi masalah terorisme. Salah satunya adalah melakukan rumus “pikir dulu sebelum sebar” atau “saring dulu sebelum sebar” di era adu cepat menyebarkan informasi melalui media sosial, jalani proses verifikasi sehingga tidak menutup ruang untuk belajar. Salah satu hal yang media bisa lakukan untuk mencegah pengaruh yang merusak dari pemberitaan terorisme adalah tidak menyiarkan secara langsung tentang aksi terorisme yang bisa membuat jurnalis berubah posisinya, lebih sebagai partisipan daripada informan, akan berakibat kurangnya kemampuan bersifat obyektif. Joseph Dominick dalam “The Dynamic of Mass Communication” menjelaskan bahwa cara-cara mengumpulkan berita juga seringkali merusak efektifitas penanganan masalah, khususnya mereka yang terlibat saat menangani aksi teror. Media lupa, teroris pun mengamati pemberitaan. Pemberitaan bisa menjadi sebuah bentuk informasi yang membuka pendekatan untuk menindak teroris oleh aparat keamanan.

Membumikan isu terorisme menjadi penting sebagai bagian dari, apa yang disebut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam “Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload”, ‘Sense Maker’ atau ‘Penuntun Akal’. Tujuannya adalah meletakkan informasi pada konteks dan mencari kaitannya hingga publik bisa memutuskan apa makna pemberitaan bagi dirinya. Media tidak berperan sebagai komentator. Pemberitaan tentang terorisme hendaknya bersifat mendalam dengan pencarian fakta dan informasi, menjadikannya berkelindan.

Foto: Techcrunch

Komentar

Tulis Komentar