Antara Narasi dan Imajinasi dalam Proses Radikalisasi

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Mengapa seorang artis atau tokoh selebriti atau atlet olahraga selalu menjadi pusat perhatian dan kemudian menjadi trend setter dalam banyak hal kehidupannya ?


Itu karena orang-orang menganggap apa yang telah dicapai dan dilakukan oleh sang tokoh adalah sesuatu yang hebat, sesuatu yang keren, sesuatu yang ingin diraih, dan seterusnya.


Tabiat manusia memang selalu ingin meniru atau mengikuti orang lain atau lingkungannya yang dianggap sebagai sesuatu yang baik baginya. Manusia belajar merangkak, berjalan, berlari, berbicara, mengendarai kendaraan, dan seterusnya adalah dari meniru orang-orang di sekitarnya.


Tetapi seiring perkembangan akal pikirannya, manusia kemudian memiliki kemampuan untuk memilih mana yang akan diikuti atau ditirunya berdasarkan daya pikir dan imajinasinya. Ia akan mulai mempertimbangkan tentang kenyamanan, keselamatan, tren yang sedang terjadi, tujuan hidupnya, dan lain-lain.


Sebagai contoh kita ambil kasus yang terjadi pada seorang anak. Ia dulu sangat bersemangat belajar mengendarai sepeda. Ketika sudah mahir ia pun bermain bersepeda dengan teman-temannya mencari kesenangan dan tantangan. Tapi setelah ia mengalami insiden terjatuh karena mencoba atraksi keren bersama teman-temannya yang membuat kepalanya bocor, ia jadi trauma dan kemudian menganggap beraksi dengan sepeda bukan sesuatu yang keren baginya.


Ia mulai mempertimbangkan keselamatan dan kenyamanan dalam meniru orang-orang di sekitarnya yang tadinya ia angap keren. Begitulah manusia. Ia akan belajar dari pengalaman. Sesuatu yang tadinya dianggap keren bisa berubah karena sebuah peristiwa.


Nah, apa yang membuat anak itu menganggap atraksi dengan sepeda adalah keren ? Karena sering menonton sinetron Go BMX dan melihat teman-temannya yang sering membahas aksi-aksi di sinetron itu.


Hal itu membuatnya berimajinasi kalau bisa meniru hal itu tentu akan terlihat keren. Dan ia merasa dia bakalan bisa menirunya karena telah memiliki modal sepeda yang mirip. Ia sama sekali belum terpikirkan bahwa hal itu perlu latihan keras, butuh waktu yang tidak sebentar, ada resiko yang harus dihadapi, dan seterusnya. Pokoknya ingin meniru saja.


Imajinasinya itu lahir dari narasi yang disampaikan melalui visualisasi di sinetron dan gosip yang beredar di antara teman-temannya. Seandainya ia tidak melihat sinetron itu dan teman-temannya juga tidak bergosip tentang betapa kerennya aksi-aksi dalam sinetron itu, mungkin ia juga tidak akan ingin menirunya.


Hal yang sama juga terjadi pada diri para mayoritas jihadis radikal yang ramai muncul karena pengaruh media sosial belakangan ini.


Awalnya mereka adalah orang-orang yang mencoba mencari pencerahan atau inspirasi di tengah kejenuhan menjalani kehidupan yang dirasa semakin susah atau cenderung membosankan.


Sampai di sini tidak ada yang salah. Salahnya adalah ketika mereka hanya mencarinya di internet dan malas mengikuti kajian ilmiah para ustadz di masjid-masjid. Mereka merasa cukup hanya belajar dari internet. Sehingga gambaran ideal dari materi yang ia dapat dari internet itu adalah berdasarkan dari imajinasinya.


Jika misalnya yang ia dapatkan di internet adalah pemahaman dan propaganda kelompok radikal, maka gambaran idealnya adalah apa yang telah dilakukan dan dicapai oleh kelompok radikal tersebut.


Sama seperti anak tadi yang karena sering menonton sinetron Go BMX dan setiap hari mendengar teman-temannya membicarakan aksi-aksi keren dalam sinetron itu, maka hal itu menjadi gambaran ideal yang ingin ditiru atau diikuti.


Ketika seseorang telah jatuh hati pada pesona propaganda kelompok radikal, lalu ia setiap hari berinteraksi dengan sesama pengagum kelompok radikal itu di berbagai platform media sosial, maka ia akan menjadikan apa yang telah dicapai oleh kelompok radikal tersebut sebagai gambaran ideal yang perlu ditiru dan diikuti.


Semakin masif propaganda yang ia terima, semakin tumpullah kemampuan nalarnya untuk memperhitungkan resiko dan menganalisa kondisi dirinya dan lingkungannya. Yang ia tahu hanyalah seperti anak tadi, yaitu bahwa meniru aksi-aksi itu merupakan sesuatu yang keren.


Ia tidak menyadari bahwa kondisi dirinya dan gambaran ideal yang ingin ia tiru itu sangat berbeda. Dan ketika dirinya terjatuh karena memaksakan diri untuk meniru itu ia baru tahu bahwa ia tidak bisa meniru hal itu. Ia baru sadar bahwa hal itu butuh persiapan dan latihan yang panjang serta butuh pelatih yang handal dan seterusnya.


Ada yang kemudian sadar diri dan mencoba mencari alternatif lain yang lebih terjangkau untuk menunjukkan performa terbaik dirinya, namun tak sedikit pula yang bandel dan masih berusaha meniru padahal sudah jelas kondisi dan kemampuan dirinya tidak memungkinkan melakukan hal itu.

Komentar

Tulis Komentar