Membedah Pola Gerakan MIT: Fase Pertama, Program Pelatihan

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Pertama kali saya mengetahui adanya pelatihan militer di Poso, Sulawesi Tengah adalah pada bulan Agustus 2012, yaitu ketika sahabat saya yang sempat hilang kontak selama 2 bulan mengabarkan bahwa dirinya saat itu berada di Poso untuk bergabung dengan sebuah kelompok yang sedang menjalankan program pelatihan militer. Waktu itu belum ada deklarasi nama kelompoknya.


Sebuah kabar yang sangat mengejutkan. Betapa tidak. Dia yang saya kenal sebagai pegiat forum jihad yang berkomitmen untuk fokus di dunia propaganda jihad global, tiba-tiba bergabung dengan kelompok yang sedang melakukan pelatihan militer. Saya pun mempertanyakan alasan kenapa ia memutuskan untuk bergabung dengan gerakan di lapangan.


Dia kemudian menjelaskan bahwa kehadirannya merupakan bagian dari strategi kelompok tersebut. Di mana nanti mereka akan membutuhkan seseorang yang bisa ‘menghubungkan’ kelompok tersebut dengan narasi jihad global melalui produk-produk rilisan resmi sayap media mereka nanti. Kelompok itu ingin mengadopsi cara-cara yang biasa dilakukan oleh kelompok jihad di luar negeri yang selalu memiliki sayap media untuk kepentingan propagandanya.


Dalam kancah jihad global yang menjadikan Al Qaeda sebagai kiblatnya, sayap media merupakan bagian yang sangat penting. Karena tanpa adanya media, aksi mereka hanya akan berdampak pada ruang lingkup yang sangat kecil. Tapi dengan adanya media dan produk-produk rilisannya, aksi mereka itu diharapkan bisa diketahui oleh umat Islam dan menjadi inspirasi bagi kaum muslimin yang lebih luas. Bagi mereka sejak dulu hingga sekarang menunjukkan eksistensi itu penting.


Di samping menjelaskan soal pentingnya dirinya sebagai pegiat media bagi kelompok tersebut, ia juga menjelaskan soal program pelatihan yang sedang mereka lakukan saat itu.


Program pelatihan itu sejatinya sudah dimulai sejak –kalau tidak salah-- akhir 2011. Peserta awal adalah para ‘muhajir’ dari pesantren Umar Bin Khotob Bima Nusa Tenggara Barat (NTB) ditambah ikhwan-ikhwan dari Poso (lokal). Yang disebut ‘muhajir’ itu adalah para pelarian dari pesantren Umar Bin Khotob pasca penggerebekan oleh aparat keamanan karena adanya ledakan yang terjadi di dalam pesantren. Banyak para ustadz dan santri yang lari ke Poso. Bagaimana prosesnya orang Bima bisa mendapat tempat di Poso? itu kisah lain.


Sistem pelatihannya pun tergolong rapi pada saat itu. Semua peserta diharuskan adalah orang yang telah memiliki pekerjaan tetap di perkampungan/kota Poso. Lalu dalam setiap bulan ada waktu sepekan yang digunakan untuk mengikuti pelatihan di daerah Pegunungan Biru, di mana waktunya telah diatur bergiliran sesuai angkatan. Misalnya pada pekan pertama bulan ini yang mengikuti pelatihan adalah angkatan pertama, maka pada pekan kedua bulan ini adalah giliran angkatan kedua dan seterusnya. Di mana jarak antar periode pelatihan adalah satu bulan. Artinya yang angkatan pertama tadi baru akan mengikuti pelatihan kedua pada pekan pertama bulan berikutnya dan seterusnya.


Ketika sedang tidak mengikuti pelatihan, mereka ini bekerja seperti biasa. Jadi katanya tidak mudah terdeteksi oleh aparat keamanan. Ditambah lagi dengan dukungan masyarakat Poso yang diklaim hampir semuanya mendukung kegiatan tersebut. Jadi, program pelatihan itu tidak akan mudah terungkap seperti pelatihan Aceh di akhir 2009 sampai awal 2010.


Nah, berdasarkan pemaparannya itu ia kemudian meminta saya untuk melakukan dua hal, yaitu : mengumpulkan dana dan memberitahu orang-orang yang ingin bergabung dengan program pelatihan di Poso itu. Karena sejak saat itu mereka memutuskan untuk mulai melakukan perekrutan yang lebih luas, tidak hanya pada kalangan terbatas seperti sebelumnya.


Narasi pelatihan dengan sistem yang rapi dan dukungan masyarakat lokal itulah yang saya ‘jual’ kepada teman-teman yang sepemahaman dengan kami untuk menggaet personel dan dana. Personel sih belum sempat dapat secara langsung, tapi sebagai perantara iya pernah. Tapi soal dana, saya sempat beberapa kali mengirimkan hasil gerilya ke kawan-kawan kami.


Narasi pelatihan itu terbukti cukup ampuh untuk menggaet para donatur untuk kegiatan pelatihan di Poso itu. Dan itu tidak hanya terjadi pada yang saya tangani, tetapi juga pada agen-agen seperti saya yang lain dari berbagai daerah.


Namun tiba-tiba, terjadilah rangkaian peristiwa yang mengubah narasi pelatihan menjadi narasi perlawanan. Di mana hal itu mengubah semua peta kekuatan yang sebelumnya menjadi penopang program pelatihan itu.


(Bersambung ke tulisan berikutnya)

Komentar

Tulis Komentar