Bayangkan seorang anak lelaki kecil berjalan di atas pasir panas gurun Mauritania. Siapa sangka, langkah-langkah kecil itu kelak akan membawanya ke puncak organisasi teroris paling ditakuti di dunia? Inilah kisah Mahfouz Ould al-Walid, yang lebih dikenal sebagai Abu Hafs al-Mauritani.
Lahir pada 1975 di kota Nouakchott, ibu kota Mauritania, Abu Hafs tumbuh di negara yang terjepit antara tradisi Islam yang kuat dan pengaruh Barat. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan haus ilmu. Tak heran jika ia kemudian menjadi salah satu murid terbaik di sekolahnya.
Namun, seperti banyak pemuda Muslim di era 90-an, Abu Hafs mulai terusik dengan apa yang beliau melihat sebagai sebuah "ketidakadilan global" terhadap umat Islam. Perang Teluk, konflik Bosnia, dan penindasan Palestina menjadi bara yang menyulut api jihad dalam dirinya.
Perjalanan Abu Hafs menuju radikalisme dimulai saat beliau melanjutkan studi di Pakistan. Di sanalah beliau bertemu dengan tokoh-tokoh Al-Qaeda, termasuk Osama bin Laden. Kecerdasan dan pengetahuan agamanya yang mendalam membuat Abu Hafs cepat naik pangkat dalam organisasi tersebut.
Tak lama, beliau menjadi salah satu ideolog utama Al-Qaeda. Sebagai ahli hukum Islam, Abu Hafs berperan penting dalam memberikan justifikasi agama auntuk aksi-aksi teror Al-Qaeda. Ia bahkan terlibat dalam perencanaan serangan 11 September 2001 yang mengguncang dunia.
Di balik sosok keras seorang jihadis, Abu Hafs ternyata memiliki sisi lain. Ia dikenal sebagai orang yang suka berdebat dan terbuka pada pemikiran baru. Inilah yang kelak akan menjadi benih dan pemantik sebuah perubahan dalam dirinya.
Titik balik Abu Hafs terjadi setelah serangan 11 September. Melihat dampak mengerikan dari aksi tersebut, beliau mulai mempertanyakan kebenaran jalan yang ia tempuh. Perdebatan internal di tubuh Al-Qaeda semakin membuatnya goyah.
Pada 2012, setelah lebih dari satu dekade bersembunyi, Abu Hafs akhirnya menyerahkan diri kepada pemerintah Mauritania. Ini menjadi awal dari perjalanan barunya: dari teroris menjadi aktivis perdamaian.
Di penjara, Abu Hafs menghabiskan waktunya untuk membaca dan merenung. beliau mulai menyadari bahwa banyak pemahaman jihad yang selama ini ia yakini ternyata keliru. Ia pun menulis buku yang mengkritik ideologi Al-Qaeda dan ekstremisme Islam.
Setelah bebas, Abu Hafs menjadi vokal dalam mengkampanyekan Islam moderat. Ia berkeliling negeri, berbicara di berbagai forum untuk mencegah radikalisme di kalangan pemuda. "Jihad sejati," katanya, "adalah memerangi kebodohan dan kemiskinan, bukan membunuh orang tak bersalah."
Perjalanan Abu Hafs mengajarkan kita beberapa hal penting:
-
Pendidikan dan pembinaan yang optimal adalah kunci. Pengetahuan yang mendalam tentang Islam justru bisa menjadi penangkal radikalisme.
-
Urgensi sebuah Dialog .Komunikasi dua arah . Keterbukaan Abu Hafs dalam berdebat dan mendengar pendapat lain dengan santun akhirnya membawanya ke jalan yang benar.
-
Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Meski pernah berada di puncak organisasi teroris, Abu Hafs membuktikan bahwa setiap orang bisa bertobat.
-
Seorang mantan ekstremis b menjadi aset yang sangat berharga sehingga Pengalaman Abu Hafs membuatnya mampu memahami dan mencegah radikalisme dengan lebih efektif.
-
Jihad perlu dimaknai ulang dan direaktualisasi dan pada hakekatnya sebuah perjuangan sejati adalah bertujuan untuk memperjuangkan kemanusiaan dan kesejahteraan, bukan kekerasan.
Kini, di usianya yang menginjak 50-an, Abu Hafs terus berjuang. Bukan lagi dengan senjata, melainkan dengan pena dan kata-kata. Ia menulis buku, memberikan ceramah, dan aktif di media sosial untuk menyebarkan pesan perdamaian.
Kisah Abu Hafs mengingatkan kita bahwa perubahan itu mungkin, bahkan bagi mereka yang pernah terjerumus ke dalam ekstremisme paling dalam. Ia adalah bukti hidup bahwa cinta bisa mengalahkan kebencian, dan bahwa cahaya pengetahuan bisa menembus kegelapan fanatisme.
Dari gurun pasir Mauritania, ke gua-gua Afghanistan, hingga akhirnya kembali ke jalan yang lurus. Perjalanan Abu Hafs adalah kisah tentang muhasabah atau introspeksi diri, dan harapan. Satu hal yang akan selalu kita ingat bahwa di balik setiap "teroris", ada seorang manusia yang bisa disentuh hatinya.
Surabaya, 25 Juli 2024
Abu Fida
(Mahasiswa Program Doktor Islamic Studies PPs UINSA)
Ilustrasi: Foto Abu Hafs Al Mauritani (Istimewa)
Komentar