Catatan Ngabuburit: Adakah Lembaga Donasi Mainstream yang Membantu Keluarga Eks Napiter?

Analisa

by Arif Budi Setyawan Editor by Arif Budi Setyawan

Beberapa hari yang lalu saya mengobrol melalui sambungan telepon dengan salah eks napiter yang pernah aktif dalam kegiatan penggalangan dana untuk keluarga napiter. Dia sudah insaf dan memiliki pemikiran yang kritis. Masih cukup muda, baru berusia 22 tahun tapi sudah menikah dan dikaruniai seorang anak.

Saya mengenalnya secara tidak sengaja. Ketemu dalam sebuah acara gathering yang diadakan oleh Idensos Densus 88 AT. Cara dia menceritakan sebagian kisah masa lalunya di dalam jaringan kelompok teror cukup menarik perhatian saya. Artikulatif dan kritis, itu kesimpulan saya.

Begitu dia menyebut pernah aktif dalam penggalangan dana untuk keluarga napiter, langsung saya meminta izin untuk menyimpan nomer kontaknya. Saya ingin berdiskusi lebih lanjut di lain waktu. Lalu awal Ramadhan kemarin saya mengiriminya buku “Narasi Mematikan Pendanaan Teror di Indonesia” karya DR. Noor Huda Ismail, pendiri Ruangobrol.id.

Nah, sebelum buku itu datang, saya meminta waktu untuk ngobrol santai by phone. Maunya sih sambil ngabuburit. Tapi karena dia harus jualan bakso di sore hari, maka dia meminta dilakukan di jam 9 pagi sampai menjelang Dhuhur. Ok, deal.

Saya menanyakan banyak hal kepadanya. Mayoritas pertanyaan adalah untuk menggali potensi kisah hidupnya yang bisa disampaikan ke publik sebagai pembelajaran bersama. Saya juga menjelaskan panjang lebar tentang Ruangobrol.id dan kerja-kerja kami di Kreasi Prasasti Perdamian (KPP).

Ketika sampai pada bahasan bahwa KPP pernah melakukan proyek penelitian “mengupas narasi pendanaan terorisme”, dia sangat antusias menanggapinya dengan menceritakan pengalamannya menjadi aktivis penggalangan dana untuk keluarga napiter. Kapan-kapan kisah lebih lengkapnya akan kami sajikan di ruangobrol.id. Dan akan lebih bagus jika dia sendiri yang menuliskan ceritanya.

Kali ini yang ingin saya highlight adalah pernyataannya mengenai kenapa jualan narasi penggalangan dana untuk keluarga napiter itu laku tidak hanya bagi simpatisan, tapi juga bagi orang-orang yang baru kenal di media sosial.

“Karena tidak ada lembaga donasi mainstream yang memiliki program santunan atau pemberdayaan keluarga napiter. Itu salah satu poin penting yang kami jual mas”, tuturnya bersemangat.

Oke sampai di sini saya kutip ceritanya. Sekarang mari kita bahas lebih lanjut mengenai bantuan kepada keluarga napiter.

Sebuah Dilema

Membantu keluarga napiter yang memang kondisinya membutuhkan bantuan, baik berupa santunan maupun program pemberdayaan, menjadi sebuah persoalan yang dilematis. Pada dasarnya pendanaan ini adalah berupa bantuan untuk pemenuhan kebutuhan pokok bagi keluarga narapidana terorisme (napiter). Mulai dari kebutuhan hidup sehari-hari, pengobatan, dan biaya pendidikan bagi anak-anak napiter.

Tapi akan menjadi masalah bila yang mengumpulkan donasi dan memberikan donasi itu adalah orang-orang yang sepemahaman dengan si napiter. Ditambah lagi adanya narasi yang mengiringi bantuan-bantuan tersebut. Misalnya:

“Suami atau ayah Anda adalah pahlawan. Korban kezaliman pemerintah thaghut/murtad. Perjuangannya harus dilanjutkan. Kami akan bantu keluarga Anda agar bisa meneruskan perjuangannya itu”.

Apa yang terjadi setelah menerima narasi itu?

Anak dan istri napiter itu akan merasa sebagai orang yang terhormat. Sangat dihormati di sebuah kelompok yang tidak lazim itu membuat mereka merasa spesial. Ketika para pemberi bantuan menetapkan syarat semisal harus menyekolahkan anaknya di tempat yang mengajarkan pemahaman mereka, atau menolak mengakui NKRI bagi suaminya di penjara, atau menolak bantuan pemerintah, mereka akan cenderung menurutinya.

Dari sinilah kemudian muncul permasalahan eksklusifitas pada keluarga napiter, penolakan pembinaan di lembaga pemasyarakatan (lapas) oleh sebagian napiter, kembalinya mantan napiter ke kelompok lamanya yang beresiko terjadinya residivisme, dan semakin masifnya penyebaran narasi ideologi ekstrim untuk mendapatkan simpatisan baru yang siap menyumbangkan hartanya.

Kebanyakan aparat pemerintah yang menangani pembinaan napiter seringkali tidak memperhatikan faktor penghambat yang ini. Yaitu adanya keterikatan secara ekonomis dan ideologis. Mengurai keterikatan ini seharusnya mulai menjadi perhatian yang lebih serius. Tapi bagaimana caranya?

Apakah dengan memblokir rekening pengumpulan donasi mereka? Atau membuat peraturan yang bisa menangkap para pelaku penggalangan donasi untuk keluarga napiter?

Di negara tetangga semisal di Singapura bisa memasukkan tindakan memberi bantuan keluarga teroris sebagai perbuatan melanggar hukum. Negaranya kecil, penduduknya sedikit, tingkat pendidikan masyarakatnya yang jauh lebih berkualitas, dan kontrol negara pada rakyatnya sangat ketat. Tapi di Indonesia yang penduduk muslimnya saja ada 200 jutaan dengan tingkat pendidikan yang jauh dari Singapura tentu tidak bisa mengadopsi cara itu.

Memblokir rekening dan menangkap pelaku penggalangan donasi untuk keluarga napiter tanpa bisa memberikan solusi pengganti hanya akan menambah bahan bakar kebencian para penganut faham radikal-ekstrim. Di satu sisi memenuhi kebutuhan pokok keluarga napiter adalah sebuah kewajiban kemanusiaan, tetapi di sisi yang lain ada narasi di kelompok tersebut yang jika dibiarkan bisa menimbulkan ‘regenerasi ideologi ekstrim’.

Maka bagaimana solusinya?

Sejauh pengalaman dan pengetahuan kami, melibatkan masyarakat (termasuk di dalamnya ormas-ormas Islam) adalah solusi terbaik. Karena merekalah yang berada di lingkaran terdekat keluarga napiter. Atau untuk ormas Islam, mereka memiliki infrastruktur yang bisa menjangkaunya. Jika mereka bisa memahami persoalan seputar radikalisme-terorisme, memiliki kemampuan untuk melakukan pendampingan dan pembinaan, serta bisa memahami bagaimana menemukan solusi yang tepat, mereka akan menjadi ujung tombak penanganan dan pencegahan radikalisme-terorisme yang efektif di masa depan.

Persoalannya adalah: Bagaimana cara kita mengedukasi masyarakat sampai mereka bisa melakukan hal-hal ideal itu? Di bagian mana kita perlu melibatkan masyarakat, apa yang perlu dipersiapkan bagi masyarakat, dan yang terpenting siapa yang akan melakukan pembinaan masyarakat itu?

Mari kita pikirkan bersama-sama. Karena kalau berpikir sendiri-sendiri sampai kapanpun akan sulit menemukan solusi bagi persoalan bersama seperti penanganan dan pencegahan radikalisme-terorisme ini. Berat memang. Sulit memang. Tapi harus dilakukan segera.

(Foto ilustrasi: Pixabay)

Komentar

Tulis Komentar