Dilema Pencegahan ‘Regenerasi Ideologi Ekstrim’ antara Kemanusiaan dan Penegakan Hukum

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Ketika mendengar kata pendanaan terorisme, kebanyakan orang akan berpikir bahwa itu selalu berkaitan dengan pendanaan kegiatan yang mengarah pada aksi terorisme. Misalnya dana untuk mengadakan pelatihan, pembelian bahan peledak, senjata, dan lain-lain. Tapi pernahkah kita terpikirkan soal pendanaan ‘regenerasi ideologi ekstrim’ yang merupakan akar penggerak bagi gerakan ‘terorisme’ itu? Dan apa potensi bahayanya ‘regenerasi ideologi ekstrim’ tersebut?


Apa itu pendanaan ‘regenerasi ideologi ekstrim’?


Pendanaan ‘regenerasi ideologi ekstrim’ adalah segala bentuk pendanaan untuk melanggengkan pemahaman radikal-ekstrim pada keluarga narapidana dan terduga teroris.


Pada dasarnya pendanaan ini adalah berupa bantuan untuk pemenuhan kebutuhan pokok bagi keluarga narapidana terorisme (napiter). Mulai dari kebutuhan hidup sehari-hari, pengobatan, dan biaya pendidikan bagi anak-anak napiter.


Lho, bukankah itu sangat manusiawi dan terpuji?


Betul, sangat manusiawi dan terpuji. Tapi masalahnya adalah, yang mengumpulkan donasi dan memberikan donasi itu adalah orang-orang yang sepemahaman dengan si napiter. Ditambah lagi adanya narasi yang mengiringi bantuan-bantuan tersebut. Misalnya:


“Suami atau ayah Anda adalah pahlawan. Korban kezaliman pemerintah thaghut/murtad. Perjuangannya harus dilanjutkan. Kami akan bantu keluarga Anda agar bisa meneruskan perjuangannya itu”.


Apa yang terjadi setelah menerima narasi itu?


Anak dan istri napiter itu akan merasa sebagai orang yang terhormat. Sangat dihormati di sebuah kelompok yang tidak lazim itu membuat mereka merasa spesial. Ketika para pemberi bantuan menetapkan syarat semisal harus menyekolahkan anaknya di tempat yang mengajarkan pemahaman mereka, atau menolak mengakui NKRI bagi suaminya di penjara, atau menolak bantuan pemerintah, mereka akan cenderung menurutinya.


Dari sinilah kemudian muncul permasalahan eksklusifitas pada keluarga napiter, penolakan pembinaan di lembaga pemasyarakatan (lapas) oleh sebagian napiter, kembalinya mantan napiter ke kelompok lamanya yang beresiko terjadinya residivisme. dan semakin masifnya penyebaran narasi ideologi ekstrim untuk mendapatkan simpatisan baru yang siap menyumbangkan hartanya.


Kebanyakan aparat pemerintah yang menangani pembinaan napiter seringkali tidak memperhatikan faktor penghambat yang ini. Yaitu adanya keterikatan secara ekonomis dan ideologis. Mengurai keterikatan ini seharusnya mulai menjadi perhatian yang lebih serius. Tapi bagaimana caranya?


Apakah dengan memblokir rekening pengumpulan donasi mereka? Atau membuat peraturan yang bisa menangkap para pelaku penggalangan donasi untuk keluarga napiter?


Di negara tetangga semisal di Singapura bisa memasukkan tindakan memberi bantuan keluarga teroris sebagai perbuatan melanggar hukum. Negaranya kecil, penduduknya sedikit, tingkat pendidikan masyarakatnya yang jauh lebih berkualitas, dan kontrol negara pada rakyatnya sangat ketat. Tapi di Indonesia yang penduduk muslimnya saja ada 200 jutaan dengan tingkat pendidikan yang jauh dari Singapura tentu tidak bisa mengadopsi cara itu.


Memblokir rekening dan menangkap pelaku penggalangan donasi untuk keluarga teroris tanpa bisa memberikan solusi pengganti hanya akan menambah bahan bakar kebencian para penganut faham radikal-ekstrim. Di satu sisi memenuhi kebutuhan pokok keluarga napiter adalah sebuah kewajiban kemanusiaan, tetapi di sisi yang lain ada narasi di kelompok tersebut yang jika dibiarkan bisa menimbulkan ‘regenerasi ideologi ekstrim’.


Maka bagaimana solusinya?


Sejauh pengalaman dan pengetahuan kami, melibatkan masyarakat adalah solusi terbaik. Karena merekalah yang berada di lingkaran terdekat keluarga napiter. Jika mereka bisa mengetahui persoalan seputar radikalisme-terorisme, memiliki kemampuan untuk melakukan pendampingan dan pembinaan, serta bisa memahami bagaimana menemukan solusi yang tepat, mereka akan menjadi ujung tombak penanganan dan pencegahan radikalisme-terorisme yang efektif di masa depan.


Persoalannya adalah: Bagaimana cara kita mengedukasi masyarakat sampai mereka bisa melakukan hal-hal ideal itu? Di bagian mana kita perlu melibatkan masyarakat, apa yang perlu dipersiapkan bagi masyarakat, dan yang terpenting siapa yang akan melakukan pembinaan masyarakat itu?


Mari kita pikirkan bersama-sama. Karena kalau berpikir sendiri-sendiri sampai kapanpun akan sulit menemukan solusi bagi persoalan bersama seperti penanganan dan pencegahan radikalisme-terorisme ini. Berat memang. Sulit memang. Tapi harus dilakukan segera.


Kami di Kreasi Prasasti Perdamaian sedang melakukan salah satu upaya penyiapan masyarakat agar bisa menjadi ujung tombak penanganan dan pencegahan radikalisme-terorisme ini. Setidaknya kami sejauh ini telah berhasil membuat masyarakat di beberapa lokasi yang menjadi proyek percontohan mampu melakukan intervensi sosial pada keluarga napiter di wilayahnya.


Ingin tahu lebih jauh soal program kami? Silakan hubungi kami melalui fasilitas chat di ruangobrol.id.




ilustrasi: pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar