TERORIS: IDENTITAS YANG BERGESER dan PENCARIAN JATI DIRI

Other

by Boaz Simanjuntak

Anders Breivik, 22 Juli 2011, di Norwegia, seolah merubah cara pandang banyak orang perihal teror. Berusia 32 tahun, kulit putih, berasal dari sebuah negara yang indeks perdamaiannya termasuk tinggi di dunia, peringkat ke sembilan pada Global Peace Index 2011. Ketakutan karena 3.6 persen populasi Muslim di Norwegia akan mendominasi penduduk akibat dari kebijakan partai politik yang berkuasa saat itu, menjadi salah satu pemicu Breivik melakukan aksi teror.

Pola teror yang dilakukan Breivik seperti muncul pada pelaku bom bunuh diri di Sri Lanka, Insan Seelawan, pada perayaan Paskah tahun 2019: melakukan teror di negaranya sendiri, menjadikan Muslim sebagai sasaran antara, bagi Breivik, dan menjadikan Nasrani sebagai sasaran antara, bagi Insan Seelawan (nama awal yang muncul saat ledakan pertama di gereja St. Sebastian) atau Mohamed Hasthun (nama yang dirilis pemerintah Sri Lanka sebagai pengebom di gereja St. Sebastian). Sasaran antara dijadikan semacam perantara bagi penyebaran pesan kebencian dan menebar ketakutan kepada banyak pihak. Sulit untuk memahami motivasi teroris. Namun, sebenarnya apa hal-hal yang muncul dalam diri seorang pelaku teror?

Munculnya kesenjangan yang melebar antara realitas yang terjadi dengan harapan-harapan yang tidak terpenuhi akan melahirkan perasaan terdeprivasi (perampasan hak) pada sekelompok besar individu, baik menyangkut soal pendapatan, kesejahteraan, status sosial, kualitas hidup, maupun kebebasan politik. Hipotesa dasar Ted Robert Gurr, dalam “Why Men Rebel” tersebut adalah: semakin kuat perasaan kesenjangan atau deprivasi relatif individu atau kelompok, yang ditandai dengan keterasingan dan frustasi yang mendalam atas kondisi yang berlangsung, maka kecenderungan untuk berpartisipasi dalam aksi politik kekerasan semakin tinggi pula.

Perasaan terdeprivasi dapat diukur melalui tiga tingkatan persepsi, yakni: persepsi masa lalu dengan persepsi masa kini, persepsi masa kini dengan persepsi masa akan datang, dan persepsi masa kini satu kelompok dengan persepsi masa kini kelompok yang lain. Kondisi terdeprivasi lahir apabila muncul persepsi bahwa masa lalu ternyata lebih baik dan menjanjikan dibandingkan realitas kekinian yang sedang berlangsung, sehingga mereka mencoba kembali ke masa lalu.

Bisa juga perasaan terdeprivasi muncul ketika individu atau kelompok yang telah merasa mapan tiba-tiba dihadapkan oleh kemungkinan terjadinya perubahan mendasar di masa depan yang berpotensi mengancam kemapanannya. David F. Aberlee, dalam “Catatan Mengenai Teori Deprivasi Relatif Sehubungan Dengan Gerakan Millenarian dan Gerakan Cult Lainnya”, menjelaskan, terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi antar kelompok, pada waktu bersamaan juga dapat menjadi faktor lahirnya suasana terdeprivasi.

Saya teringat sebuah buku cerita anak berjudul Nothing karya Mick Inkpen. Tentang sebuah boneka binatang lusuh yang bertanya pada dirinya sendiri, “Siapa aku?”. Merasa terlupakan di sudut loteng yang berdebu, boneka itu mendengar tukang pengangkut barang yang menjawab pertanyaannya dengan “Nothing” (bukan siapa-siapa), sehingga ia mengira namanya adalah Nothing.

Sang boneka lalu bertemu dengan boneka-boneka lain yang membangkitkan ingatannya, bahwa ia pernah memiliki ekor, kumis, dan garis-garis di tubuhnya. Akhirnya, ia bertemu seekor kucing kelabu yang membantunya menemukan jalan pulang. Nothing akhirnya ingat siapa dirinya sebenarnya: sebuah boneka kucing bernama Toby, dan sang pemilik memperbaikinya, menjahit sepasang telinga baru, ekor, kumis, dan garis-garis di tubuhnya.

Jadi, perihal identitas yang bergeser dan pencarian jati diri adalah soal proses yang nampak pada teroris. Misalnya, dimulai dari merasa, merasa paling benar. Kemudian bertemu dengan orang lain yang sepaham, lalu yakin bahwa yang tidak sepaham adalah musuh. Dan, harus membuktikan identitas yang dimilikinya menjadi jati diri baru, dengan harapan ada orang lain yang meniru langkah-langkah tersebut.

Cerita “Nothing” kembali menjadi “Toby” adalah upaya membangun sebuah kehidupan baru dengan proses mengingat kembali, memahami keadaan diri, dan memperbaiki waktu yang telah hilang dengan bantuan yang berbeda, sehingga terbentuk pola pikir yang luas dari berbagai perspektif. Jalan masuk dan jalan keluar teroris bisa jadi memiliki pola yang sama dengan nuansa yang berbeda. Untuk memahami perilaku teroris saat ini, hendaknya kita berhati-hati, karena seperti pengebom gereja di Sri Lanka yang berasal dari keluarga yang baik secara ekonomi, Teroris dan identitas, bagaikan sebuah bentuk kegelisahan untuk pengakuan diri. Jika ingin diakui sebagai yang terbaik, lakukanlah dengan cara yang terbaik pula dan tidak merugikan diri sendiri, juga orang lain.

Foto: Steemit (https://steemit.com/blog/@deyvich/and-who-are-you)

Komentar

Tulis Komentar