Tidak Pernah Selesai Mencari Identitas = Belum Merdeka!

Other

by Boaz Simanjuntak

Bulan Agustus adalah bulan perayaan kemerdekaan Indonesia. Setiap tahun ada saja aktivitas yang mewarnai bulan merah-putih. Yang paling ditunggu oleh warganet adalah diskon besar supaya bisa memuaskan hasrat belanja. Diskon produk adalah sebuah hak hidup, terbebas dari harga mahal.

Hak hidup adalah salah satu dari 15 hak-hak sipil yang adalah hak kebebasan fundamental yang dimiliki sebagai manusia. Kata ‘sipil’ merujuk kepada kebebasan individu mendapat perlindungan dari pelanggaran sewenang-wenang oleh pemerintah dan organisasi swasta serta memastikan kemampuan seseorang untuk berpartisipasi dalam kehidupan sipil dan politik negara tanpa diskriminasi dan penindasan. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

Jika hak kebebasan fundamental penting, lalu mengapa menjadi fundamentalis dianggap berbahaya. Atau, mengapa fundamentalis tidak pernah selesai mencari identitas, merasa terkekang dengan sistem yang sudah ada, dan belum merdeka?

Persoalan merdeka atau terbebas membuat saya teringat prinsip dalam ekonomi yaitu “laissez-faire”, sebuah sinonim untuk pasar bebas. Bahkan Grant Gilmore, profesor hukum asal Amerika Serikat, yang menulis “The Death of Contract”, pernah bercanda dengan menyebut “laissez-faire” dengan kalimat “Jika kita semua bebas melakukan apapun yang kita sukai, tak ayal lagi semuanya akan berakhir dengan yang terbaik”.

Merdeka pun ada batasannya, tidak bisa seenaknya karena yang merasa paling berhak. Batasannya adalah kesepakatan bersama dalam kerangka hukum. Jadi tidak usah ngegas terus karena merasa merdeka, perlu rem juga untuk kasih kesempatan yang lain, “santai sikit lah”, kata orang Medan.

Fundamentalis identik dengan perilaku keagamaan berdasarkan penghayatan terhadap ayat-ayat suci semata tanpa melihat persoalan lain secara substansi seperti sejarah, peradaban, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hasilnya adalah merdeka melakukan klaim pembenaran. Dalam semua agama ada kelompok fundamentalis, jadi tidak usah khawatir untuk agama tertentu saja.

Pada saat mencari identitas baru untuk merubah tatanan yang sudah ada dengan gaya fundamentalis berbasiskan agama maka penting juga untuk kita memahami opsi kekerasan yang mungkin diambil dalam menjalankan aksi para “penganut kebenaran”. C.A.J. Coady dalam “The Idea of Violence” membedakan tiga definisi kekerasan, yaitu: wide definitions, restricted definitions, dan legitimate definitions.

Wide definitions bertolak dari pemikiran bahwa kekerasan itu ada dalam organisasi dan dalam kontrol masyarakat. Dari perspektif ini, kekerasan yang terkait dengan revolusi dipahami sebagai kekerasan yang anti kekerasan. Ini adalah sebuah reaksi atas ketidakadilan atau ketidaksamaan dalam masyarakat. Restricted definitions bertolak dari ide bahwa kekerasan selalu menghadirkan luka.

Di mana ada luka, di situ ada kekerasan. Jika tidak ada luka, tidak ada kekerasan. Legitimate definitions bertolak dari ide bahwa kekerasan adalah akibat dari aksi yang ilegal. Aksi ini diarahkan pada negara. Jadi, kekerasan mencoba mendestabilisasikan organisasi dan struktur negara.

Fundamentalisme dapat dengan mudah berkembang saat muncul tantangan terhadap identitas kelompok karena perubahan gaya hidup, krisis sosial karena marginalisasi terhadap kelompok, kekecewaan atas kondisi ekonomi, dan hilangnya kepercayaan terhadap negara.

Dalam kekerasan selalu ada “bom waktu” yang bisa meledak kapanpun, yaitu: subyek yang melakukan kekerasan, obyek yang menerima kekerasan, dan potensi obyek kekerasan berubah menjadi subyek kekerasan.

Kekerasan adalah akibat dari sebuah relasi. Kekerasan adalah sebuah aktivitas yang sadar atau tidak sadar memungkinkan timbulkan luka, dukacita, sakit, bahkan kematian. Kekerasan dalam bentuk apapun dan dilakukan oleh siapapun adalah kejahatan. Mari merdeka dan melepaskan diri dari kekerasan.

SUMBER GAMBAR: SACAP

Komentar

Tulis Komentar