Perempuan Rentan Jadi Korban Bencana Alam Hingga Sosial

Other

by nurdhania

Bencana, baik disebabkan karena alam ataupun konflik, tidak selamanya soal kehilangan nyawa dan harta benda. Permasalahan pelik lainnya juga muncul saat manusia korban bencana ini dipaksa mengungsi atau hidup di tempat hunian sementara. Seringkali, tempat pengungsian itu tidak ramah bagi perempuan dan anak.

Pada 2019 silam, tirto pernah mengupas soal dampak ikutan dari bencana alam. Memotret sisi lain dari bencana gempa, likuifaksi, dan tsunami di Palu, media tersebut menyoroti soal perkawinan anak di pengungsian. Pada pemberitaan itu, Direktur Lingkar Belajar Untuk Perempuan (LIBU), Dewi Rana, menyebutkan bahwa penyebab tingginya perkawinan anak di tenda pengungsian itu bukan karena sudah hamil terlebih dahulu.

Dia menjelaskan bahwa desakan ekonomilah yang menjadi penyebabnya. Para orang tua tidak memiliki pilihan lain untuk mengurangi beban ekonomi selain menikahkan anaknya. Selain itu, Dewi juga banyak menyoroti soal kekerasan berbasis gender di lingkungan pengungsian atau hunian sementara. Kekerasan itu meliputi KDRT, pencabulan, pencobaan perkosaan sampai pemerkosaan.

Sementara itu, dalam lingkup yang berbeda, Dina Sulaeman dalam bukunya yang berjudul Prahara Suriah juga menceritakan nasib perempuan dan anak di kamp pengungsian. Terutama pada saat konflik di Suriah di tahun 2013. Meskipun terpisah jarak dan waktu dengan kejadian di Palu, Dina juga menemukan adanya pernikahan anak di pengungsian. Para pengungsi Suriah (utamanya para ibu) di Tripoli, Libanon, harus mengambil jalan pintas untuk keluar dari kesulitan dengan menikahkan anak gadis mereka yang masih di bawah umur. Keputusan sulit ini harus mereka ambil setelah terombang-ambing di tenda pengungsian selama dua tahun.

Masih dalam bukunya, Dina kembali menulis soal pernikahan anak di bawah umur dari sudut pandang Federasi Perempuan Mesir. Organisasi ini melaporkan bahwa dalam kurun waktu satu tahun saja, telah terjadi 12.000 kasus pernikahan dengan ‘harga’ 500 pound. Menurut pemahaman saya, pada tahun 2016, nilai 500 pound ini setara dengan satu buah sawarma ayam atau kebab ayam. Nilai yang tidak begitu besar itu digunakan untuk menebus Gadis Suriah yang menjadi pengungsi di Mesir agar dapat dinikahi. Federasi tersebut mengatakan bahwa kondisi ini merupakan salah satu bentuk perdagangan perempuan. Mereka meminta pemerintah mencegah eksploitasi terhadap para pengungsi dan menghentikan ‘upaya memanfaatkan kondisi buruk para pengungsi’.

Mengelola pengungsian memang bukan hal yang mudah. Pernikahan anak di bawah umur adalah salah satu contoh masalah yang penting untuk dicermati. Selain itu, tenda pengungsian juga sangat rawan terhadap pengintipan. Saya dan keluarga pernah menjadi korban pengintipan ini. Sebelum saya berhasil pulang ke Indonesia, saya dan keluarga harus tinggal di kamp pengungsian di ‘Ayn Issa, Suriah. Saat itu, kami harus berbagi tenda dengan tetangga. Hanya selembar kain yang membatasi keluarga kami dan keluarga tetangga. Tetangga satu tenda kami ini sering berganti-ganti. Hingga datang tetangga baru yang mayoritas anggota keluarganya adalah laki-laki. Sering kali mereka tertangkap basah sedang mengintip ke tempat kami.

Permasalahan lain adalah soal sanitasi yang tidak dikelola dengan baik, sehingga sering mengakibatkan diare dan muntaber. Ditambah lagi dengan penyediaan kebutuhan perempuan dan anak yang seringkali belum layak. Seperti, kebutuhan untuk perempuan hamil, menyusui, dan menstruasi, serta makanan penuh gizi untuk anak-anak. Selain itu, lingkungan MCK (mandi, cuci, kakus) juga harus aman bagi perempuan. Agar mereka terhindar dari kasus pengintipan atau pelecehan seksual.

Pengungsian juga rentan bagi kesehatan mental pengungsinya, terutama perempuan. Ketika masih berada di tenda pengungsian, saya sering melihat sendiri perempuan yang stress dan depresi. Tidak jarang mereka pingsan karena memikirkan kondisi yang tidak menentu. Suami meninggal, terpisah dengan suami, uang semakin menipis, anak-anak butuh makan dan popok, atau tekanan di lingkungan pengungsian adalah beberapa pemicu stress bagi perempuan di pengungsian.

Oleh karena itu, pada momen Hari Perempuan Internasional, saya sangat berharap bahwa perempuan-perempuan dunia dan khususnya di Indonesia dapat hidup di tempat yang aman. Mereka mendapatkan perlakuan yang aman dan baik dari siapapun. Perempuan bisa mengejar mimpinya dan bukan menjadi barang dagangan. Mereka bisa mandiri dan menentukan jalan hidupnya untuk bisa bermanfaat bagi manusia yang lain. Tidak ada lagi perempuan yang menjadi aset saat ekonomi keluarga terdesak. Tidak ada lagi pendidikan perempuan yang terhenti. Selamat Hari Perempuan Internasional, 8 maret 2021.

Komentar

Tulis Komentar