Oleh:
Amalia Sekar Mahanani (Mahasiswi Semester V Administrasi Publik Universitas Negeri Yogyakarta)
“Don’t assume because you and me can be an ass, listen first, and don’t jump to the conclusion (Ellen Nakashima).
Kutipan dari buku “Temanku, Teroris?” karya Noor Huda Ismail tersebut sejalan dengan banyaknya dugaan yang muncul dari berbagai aksi teror, khususnya kasus Bom Bali 2002. Tepat 20 tahun lalu, ledakan dahsyat yang terjadi di Sari Club, Paddy’s Pub, dan Kantor Konsulat Amerika Serikat di Bali telah merenggut lebih dari 200 jiwa.
Ribuan pertanyaan muncul, mulai dari siapa pelakunya? apa motifnya? mengapa Bali? hingga terorisme dan konspirasinya. Kata “bom” sudah mengandung traumatis tersendiri bagi warga Bali bahkan dunia. Sampai saat ini, kasus Bom Bali menjadi sejarah kelam yang tidak pernah terlupakan oleh dunia.
Noor Huda Ismail yang saya sapa Pakde Huda, menulis buku itu diawali kasus Bom Bali 2002 tersebut. Bermula dari tugas liputannya saat bekerja sebagai wartawan The Washington Post mengantarkannya pada keterkejutan ketika mengetahui sahabat semasa menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, tertulis dalam daftar pelakunya.
Kejadian itu menimbulkan tanda tanya besar dalam hidup Pakde, bagaimana bisa seseorang yang dulu diidolakan dan selalu memberi petuah-petuah semasa nyantri menjadi pelaku tindakan keji? Sekali lagi, asumsi bukan jawaban yang tepat untuk menghasilkan kesimpulan.
Adalah Utomo Pamungkas alias Fadlullah Hasan alias Mubarok. Perjalanan dimulai dengan mengikuti kisah jihad yang mungkin saja tidak jauh berbeda dengan kisah pejuang jihad lainnya.
Niat awalnya memperdalam ilmu agama terbakar habis ketika melihat situasi Afghanistan yang memanas. Sekali membaca kita pasti tahu bahwa Fadlullah Hasan adalah si tokoh utama yang mencintai islam dengan segenap hati dan jiwanya.
Berita mengejutkan ketika Fadlullah Hasan termasuk dalam pelaku Bom Bali 2002 membuat saya kebingunan di mana letak ‘lengahnya’ sampai saya membuka kembali beberapa lembar lagi barangkali saya melewatkan sesuatu, apa benar Fadlullah Hasan yang saya kenal di bab sebelumnya terlibat dalam terorisme?
Peristiwa terlibatnya santri Ngruki memunculkan stigma baru bagi pesantren.
Perjalanan Pakde mulai dari pesantren menjadi plot twist yang bisa memberikan pelajaran sekaligus menghibur. Sampai ketika Pakde tergerak jiwa kemanusiaannya untuk mengulurkan tangan untuk mantan teroris dan keluarga yang terdampak membuka mata saya. Ceritanya tidak hanya sekadar penuturan belaka, tetapi menjadi pengingat dan pelajaran yang berharga.
Mulai dari awal membaca buku hingga akhir, saya selalu dibuat bertanya-tanya. Sebenarnya apa itu teroris? Saya paham bahwa teroris jelas berbeda dengan jihad, bahkan mencederai kemurnian jihad. Akan tetapi, pertanyaan beruntun selanjutnya memenuhi isi kepala saya.
Apa yang pada akhirnya bisa mengubah pemikiran seseorang begitu cepat? Bagaimana bisa seseorang yang telah bergabung pada organisasi hitam itu seolah lupa dengan orangtuanya atau keluarganya? Saya sangat yakin bahwa orang-orang itu cerdas sesuai bidangnya masing-masing. Ahli elektronika, strategi, ahli mekanik, koki handal dan masih banyak keahlian lainnya yang seharusnya terakomodasi dengan baik.
Bom Bali tidak hanya menghacurkan bangunan-bangunan, tetapi juga berdampak pada keluarga korban. Selama ini lebih banyak yang berfokus pada keluarga korban terorisme sedangkan nasib keluarga pelaku sering terpinggirkan.
Buku ini memberikan pandangan dua sisi. Pertama, sebagai keluarga korban yang kehilangan orang terkasih dalam hidupnya mungkin tidak akan bisa digantikan dengan apapun. Kedua, sebagai keluarga pelaku yang mendapat tekanan sosial mungkin saja timbul perasaan menyerah.
Rasanya tidak ada tempat yang nyaman dan tepat untuk mereka beraktivitas “bebas” seperti apa yang dikatakan orang-orang. Korban tidak hanya membutuhkan kompensasi, tetapi pendampingan dan pemulihan yang berkelanjutan untuk terus bertahan di masa mendatang.
Menurut saya, upaya tersebut bisa diperluas dengan menumbuhkan mindset positif bagi masyarakat secara menyeluruh. Saat membaca buku ini saya melihat bagaimana pemulihan dilakukan baik dari dalam diri korban maupun keluarganya. Pemulihan itu pasti akan tidak berguna tanpa support masyarakat sekitarnya apalagi jika masih berpikir konservatif.
Hal semacam ini juga berlaku pada mantan pelaku terorisme yang mencoba memulai cerita baru dalam hidupnya. Mereka perlu dikawal, bukan dengan tatapan tajam atau rasa takut, melainkan sikap terbuka.
Buku ”Temanku, Teroris?” telah berusia sekitar 10 tahun sejak penerbitan pertamanya, tapi hebatnya buku ini tidak usang oleh waktu. Saya benar-benar diajak pada setiap rasa dalam alur ceritanya. Setelah 20 tahun peristiwa Tragedi Kuta Kelabu, kita masih mendengar terorisme-terorisme yang seharusnya sudah tidak kita dengar lagi.
Membaca buku ini memberikan pandangan baru sekaligus melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita ingin mencari tahu lebih banyak lagi.
Buku ini sarat nilai bahwa setiap orang dihadapkan pada pilihan-pilihan tertentu, terkadang pilihan yang kita ambil bisa jadi merugikan orang lain. Namun, manusia dengan pemikirannya menjadi rahasia besar yang mungkin tidak pernah terungkap.
Refleksi 20 Tahun Bom Bali
Otherby Administrator 23 Agustus 2022 5:43 WIB
Komentar