Terorisme Ada di Persoalan Aborsi

Other

by Rosyid Nurul Hakiim

Terorisme bukan sebuah terminologi yang melekat pada agama tertentu. Kata tersebut patut disematkan pada tindakan-tindakan kekerasan dengan latar belakang apapun yang dapat menimbulkan teror di masyarakat. Tidak jarang latar belakang itu bernuansa politis.

Melalui beberapa tulisan sebelumnya, kita sudah sempat membahas spektrum dari terorisme ini. Bahkan beberapa artikel membawa kita ke catatan sejarah seperti soal siapa kelompok teroris pertama, atau soal teroris yang ternyata punya kecerdasan tinggi.

Kali ini, kita coba membahas spektrum lain dari terorisme. Bisa jadi ini punya muatan politis, tapi alasan dari tindakan teror beberapa orang di Amerika Serikat ini cukup menarik. Gerakan utama para ekstremis ini adalah menolak aborsi. Ya, aborsi. Kasus-kasus yang masih saja kita jumpai di Indonesia.

Soal benar atau tidaknya tindakan aborsi itu di Indonesia, hal tersebut mungkin masih diperdebatkan. Namun oleh para ekstremis penolak aborsi itu, sikapnya sudah jelas. Mereka yang mempraktekan aborsi harus ditumpas. Oleh karena itu, kelompok kekerasan ini sudah melakukan berbagai serangan, baik membakar klinik, menculik, menggunakan bom, dan bahkan membunuh para dokter.

Karena tindakan mereka itu, kelompok ekstremis itu sudah menebar teror di masyarakat Amerika. Terutama kepada mereka yang hendak melakukan aborsi atau pada petugas medisnya. Kekerasan terhadap para dokter, bidan, atau siapapun yang terlibat dalam aborsi sudah muncul di Amerika sejak akhir tahun 1980an hingga awal 1990an. Kekerasan ini bahkan sudah dinyatakan sebagai terorisme.

The New York Times pernah merangkum kasus-kasus yang melibatkan kelompok ekstremis penolak aborsi tersebut. Dalam sebuah beritanya, media ini menyebutkan bahwa kekerasan yang terjadi pada petugas medis yang pro terhadap aborsi sudah menebar ketakutan di Amerika Serikat sejak tahun 1993. Bahkan telah terjadi 11 kasus pembunuhan dalam konteks ini hingga tahun 2015.

Dokter David Gunn adalah dokter penyedia layanan aborsi pertama yang meninggal akibat tembakan dari salah satu pendukung kelompok anti aborsi. Pada 10 Maret 1993, sekelompok orang melakukan protes di depan klinik Dokter David Gunn di Pensacola, Florida. Ramainya situasi di depan kliniknya, dokter tersebut memilih melewati jalur belakang untuk masuk ke dalam klinik. Malangnya, salah satu protester justru menembaknya tiga kali ketika memasuki jalur belakang tersebut. Michael F. Griffin kemudian menyerahkan diri kepada polisi dan pada tahun 1994 dia dihukum seumur hidup.

Kekerasan terhadap Dokter David Gunn ini bukan yang pertama terjadi di Pensacola dan bukan yang terakhir. Kekerasan atas dasar penolakan aborsi sudah pernah dilakukan sebelumnya. Di tahun 1984, dua kantor dokter dan klinik menjadi sasaran pelemparan bom. Beruntungnya, ketika itu tidak ada korban jiwa. Namun, pada tahun 1994, kembali terjadi pembunuhan terhadap dokter. Kali ini korbannya adalah Dokter John Bayard Britton dan sukarelawan di kliniknya, James H Barret. Bahkan dalam penembakan itu, istri Dokter John ikut terluka parah.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, kekerasan dilakukan tidak hanya dengan senjata api. Namun, para ekstremis ini juga menggunakan bomb. Pada tahun 1998, sebuah bom yang dikendalikan remote jarak jauh telah meledak di sebuah klinik di Birmingham, Alabama. Bom yang berisi paku itu membunuh seorang polisi yang sedang bertugas menjaga keamanan di klinik tersebut. Seorang suster juga terluka parah oleh bom tersebut.

Polisi berhasil menangkap Eric Rudolph atas kejadian bom tersebut. Ternyata, Eric adalah pelaku yang sama untuk kejadian peledakan bom di ajang olahraga Olimpiade di Atlanta pada tahun 1996. Rakitan bom yang sama telah menewaskan satu orang dan melukai 100 yang lain pada saat itu. Eric mengaku, dia melakukan peledakan bom itu untuk mempermalukan Amerika di depan dunia pada saat ajang olahraga internasional, karena Amerika telah melegalkan aborsi.

Belajar dari kasus-kasus di atas, perang terhadap terorisme atau ekstremisme sebaiknya dan memang seharusnya tidak didorong pada persoalan agama. Tapi soal menghentikan kekerasan yang mengakibatkan korban jiwa.

 

 

Komentar

Tulis Komentar