Penangkapan petinggi Baitul Maal Abdurahman Bin Auf (BM ABA) yang ternyata milik Jamaah Islamiyah (JI) akhir-akhir ini membuka mata semua pihak bahwa organisasi yang didirikan oleh Abdullah Sungkar bersama dengan Ustaz Abu Bakar Baayir pada 1993 lalu itu masih sangat aktif di Indonesia.
Adalah Ustaz Farid Ahmad Okbah bersama dengan Zain An-Najah baru-baru ini ditangkap oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Ahmad Zain An Najah ditangkap karena perannya sebagai Dewan Syuro JI. Di dalam Lembaga Amal Zakat Baitul Mall Abdurahman Bib Auf (LAZ BM ABA) Zain diduga merupakan Ketua Dewan Syariah lembaga itu. Sama seperti Zain, Farid Ahmad Okbah juga merupakan Anggota Dewan Syariah BM ABA.
Terhadap Farid Ahmad Okbah dan Ahmad Zain An-Najah Densus menjeratnya dengan UU Pendananaan Terorisme dan UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pendanaan Napas dan Darahnya Kelompok Teror
Menurut keterangan Kombes Polisi Aswin dari Densus 88 dalam keterangan pers pada 25 November 2021 pendanaan napas dan darah dan hidup dan matinya kelompok teror. Menurut Aswin di JI ada sumber dua sumber pendanaan yaitu dari sumber internal berasal dari infak dari anggota JI dan sumber eksternal yang berasal dari lembaga amal yang mereka buat. Di antaranya adalah BM ABA dan Syam Organizer.
Berdasarkan keterangan dari Ketua BM ABA Fitria Sanjaya yang sudah ditangkap oleh Densus 88, BM ABA dalam melakukan aktivitas organisasinya tidak secara langsung berkaitan dengan terorisme, melainkan digunakan untuk kebutuhan beasiswa pendidikan, pengiriman bantuan ke luar negeri seperti ke Suriah maupun Palestina.
Hal itu bertujuan untuk mendulang simpati dari publik. Sehingga ketika mereka ditangkap, publik akan menuding bagian dari kriminalisasi.
Densus mengakui mengurai dan melakukan penyidikan soal pendanan terorisme merupakan perkara yang sangat sulit. Karena BM ABA secara legalitas formal mempunyai izin dan terdaftar di pemerintah.
Terhadap BM ABA Densus 88 akan menjeratnya dengan pasal pendanaan tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 2013. Selain itu Densus juga membuka kemungkinan untuk menjerat BM ABA dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Densus saat ini fokus pada pendanaan dan aktivitas teror. Lembaga amal itu diduga kuat menghimpun dana untuk keperluan terorisme. Densus 88 sendiri sudah menyita ribuan kotak amal yang tersebar di berbagai tempat.
Modus Pendanaan Terorisme
Pendaan terorisme sangat penting bagi berjalannya organisasi terorisme. Seperti kata Densus, pendanaan seperti napas dan darah sekaligus. Sehingga jika tidak ada pendanaan maka otomatis kelompok teror akan lumpuh. Karena itu mereka dalam mencari dana menggunakan berbagai cara. Di antaranya dengan menggunakan cara-cara konvensional, seperti modus kotak amal itu.
Selain itu penggunaan kotak amal untuk menggalang dana terorisme juga dilakukan oleh kelompok ISIS. Namun, berbeda dengan BM yang terstruktur dan masif, penggunaan kotak amal di kalangan ISIS hanya bersifat kecil. Berbeda dengan kotak amal BM ABA yang mempunyai izin lengkap, kotak amal milik ISIS tidak mempunyai izin. Mereka hanya meletakkan kotak amal warung-warung ataupun usaha orang anggota atau pun orang yang mereka kenal. Sehingga dari hasil pun kotak amal ISIS lebih kecil dibanding dengan kotal amal milik JI.
Selain menggunakan kotak amal, pendanaan terorisme juga masih menggunakan kurir orang. Hal ini untuk menghindari pengawasan dari PPATK maupun polisi jika menggunakan cara transfer. Selain itu ada juga acara dengan mengirimkan dana dengan melalui Western Union. Namun, pelakunya biasanya meminjam identitas orang lain. Cara pengirimannya juga dipecah ke beberapa orang berbeda. Hal ini misalnya pernah digunakan oleh Ahmad Supriyanto dalam mengirimkan dana kepada Suryadi Masud yang saat itu berada di Filiphina. Dana tersebut untuk keperluan pembelian senjata api kelompok JAD. Salah satu senjata tersebut belakangan diketahui digunakan dalam serangan di Jalan Thamrin Jakarta Pusat pada awal tahun 2016 lalu.
Aktivitas Pendanaan Terorisme Meningkat
Menurut Kepala PPATK Dian Ediana Rae dalam diskusi pada Rabu (10/2/2021) dalam kurun waktu dua tahun terakhir mencatat itu ada 174 laporan hasil analisis (LHA) PPATK yang terkait dengan pendanaan terorisme. Semua LHA itu sudah diserahkan ke Densus 88, BIN dan ke BNPT untuk ditindaklanjuti secara hukum pidana.
Hasil-hasil penelitian PPATK itu sebenarnya cukup komprehensif. Namun, secara lebih luas, PPATK mencatat ada sebanyak 600 laporan yang terindikasi dengan pendanaan terorisme pada 2019. Sementara itu pada 2020, angka tersebut meningkat menjadi 1.300 laporan terkait transaksi mencurigakan terkait pendanaan teroris.
Menurut Dian aktivitas pendanaan itu salah satu hal yang menjadi sangat penting.
"Pendanaan itu adalah kita sebut sebagai blood blind. Artinya sebagai darah yang menghidupi kegiatan-kegiatan tertentu. Itu kan tidak murah. Katakanlah mengirim foreign teroris fighter, membeli tiket dan segala macam," ungkap Dian.
Selain itu menurut Dian, organisasi masyarakat juga kerap menyalahgunakan bantuan kemanusiaan. Hal itu diketahui setelah PPATK mengaudit rekening milik ormas maupun organisasi nirlaba yang kerap menerima bantuan kemanusiaan.
Bantuan itu memang sebagian digunakan untuk bantuan kemanusian seperti untuk korban gempa maupun dikirim ke luar negeri. Namun, realisasinya tidak transparan.
"Karena itu bantuan-bantuan untuk saudara kita di Suriah di Palestina, Uighiur dan lain sebagainya itu perlu diaudit," lanjutnya.
Berdasarkan hasil analis, PPATK menemukan adanya dana bantuan yang dikelola organisasi masyarakat ataupun organisasi nirlaba telah disalahgunakan. Sebagian untuk dipakai pribadi, sebagian yang dipakai investasi, sebagian juga dikirimkan ke lembaga-lembaga tertentu yang dicurigai sebagai terlibat kegiatan terorisme.
Belajar dari BM ABA dan temuan PPATK, dana untuk keperluan teror sangatlah sedikit bahkan bisa hanya 10 persennya. Sebagian besar digunakan untuk kemanusiaan yang diumumkan setiap saat oleh mereka. Hal ini bertujuan untuk menyamarkan ataupun kedok pendanaan terorisme.
Karena itu kepada masyarakat sebaiknya berhati-hati dalam menyalurkan infak maupun sedekahnya kepada lembaga yang benar-benar bisa dipercaya dan terdaftar secara hukum. Baik perizinan maupun legalitasnya.
Jika meragukan lebih baik menghindari memberikan dana kepada lembaga amal atau siapapun. Kepada aparat, harus segera menutup segala kemungkinan pendanaan kelompok teror ini. Karena tanpa dana, semilitan apapun kelompok terorisme tak akan bisa melakukan aksinya.
Tren Pendanaan Terorisme di Indonesia
Otherby Akhmad Kusairi 3 Maret 2022 10:59 WIB
Komentar