MY ACTIVITIES : Identifikasi Offline dan Online (3)

Other

by Arif Budi Setyawan

MY ACTIVITIES :  Identifikasi Offline dan Online (3)

Pertanyaan dari tulisan sebelumnya : Dari mana saya bisa menyimpulkan bahwa mereka itu termasuk pendukung, simpatisan, atau netral ? Baiklah, inilah penjelasannya.

Pertama, dari pembicaraannya.

Ketika mereka menyatakan rezim penguasa negeri ini adalah thaghut dan harus dilawan baik dengan kekuatan  dakwah maupun dengan kekuatan bersenjata, mereka ini termasuk barisan pendukung.

Ketika mereka menyatakan bahwa rezim penguasa negeri ini adalah thaghut dan harus dilawan namun mereka lebih condong hanya menggunakan kekuatan dakwah, tidak mencela aksi bersenjata yang telah terjadi di Indonesia, serta memuji dan mengagumi para mujahidin di luar negeri, maka mereka ini termasuk barisan simpatisan.

Ketika mereka menyatakan bahwa rezim penguasa negeri ini adalah rezim bathil dan harus dilawan namun mereka lebih condong hanya menggunakan kekuatan dakwah, mengkritisi aksi bersenjata yang telah terjadi di Indonesia, tetapi masih memuji aksi para mujahidin di luar negeri, mereka ini termasuk barisan netral.

Kedua dari sikapnya ketika saya sampaikan wacana ‘eksperimen menghidupkan jihad’ yang kemungkinan akan melibatkan penggunaan ‘barang-barang terlarang’ seperti pelatihan kemiliteran dan sejenisnya.

Jika mereka setuju tanpa banyak bertanya berarti mereka pendukung. Jika mereka setuju tetapi menentukan syarat misalnya hal itu hanya boleh dilakukan ketika sudah punya basis yang kuat seperti di Mindanao, maka mereka ini termasuk simpatisan.

Jika mereka kemudian mempertanyakan apakah pelatihan seperti itu masih relevan untuk dilakukan di Indonesia setelah beberapa kali hal serupa yang dilakukan telah terbukti ‘gagal’ dan mencoba  beradu argumen bahwa dakwah itu harus lebih diutamakan, maka mereka ini saya anggap termasuk pada posisi netral.

Mengapa saya anggap netral ? Karena mereka ini masih memuji aksi mujahidin di luar negeri seperti di Iraq, Afghanistan, Yaman, Chechnya, Mindanao, dll, yang artinya seandainya di Indonesia ini para mujahidinnya bisa seperti di negeri-negeri itu, mereka juga akan mendukungnya.

Di antara yang pernah saya datangi rumahnya, ada satu atau dua orang yang rumahnya kebetulan menjadi semacam tempat transit dari beberapa ‘orang lapangan’ yang sedang dalam perjalanan. Saya sempat beberapa kali bertemu dengan orang lapangan ketika berkunjung ke rumah mereka. Di situlah saya berkenalan dengan sesama pemain lapangan. Dari mana saya tahu kalau orang tersebut adalah orang lapangan ?

Pertama, dari penjelasan tuan rumah yang memperkenalkannya dan kedua dari pembicaraannya yang menyebutkan tentang sebuah kegiatan yang sedang ia lakukan. Misalnya : ketika ia menjelaskan kepada tuan rumah bahwa ia akan menitipkan seorang DPO, atau mengabarkan seorang DPO yang pernah dibantu oleh tuan rumah, atau meminta mencarikan dana untuk membantu pengobatan anak buahnya yang terluka ketika latihan meracik bahan peledak, dsb.

Meskipun menurut saya orang tersebut sangat ceroboh karena mengungkapkan hal itu di depan saya yang kadang baru pertama kali bertemu, tetapi di sisi lain saya senang karena bertemu dengan sesama pemain lapangan. Mungkin karena ia percaya dengan penjelasan tuan rumah ketika memperkenalkan saya, ia dengan nyamannya mengungkapkan hal itu dengan harapan siapa tahu saya bisa membantunya juga.

Hal inilah yang saya sebut dengan keberuntungan, yaitu ketika bisa bertemu dengan pemain lapangan yang pastinya ia juga mempunyai jaringan pendukung bagi proyek ‘eksperimen menghidupkan jihad’ yang sedang ia lakukan. Sehingga saya jadi punya pemikiran bahwa suatu saat nanti akan bisa bekerjasama dengan jaringan yang dimiliki orang tersebut.

Jadi begitulah hasil dari kegiatan saya dalam memperluas hubungan dan memetakan potensi para aktivis jihadi secara offline. Saya jadi memiliki hubungan dengan para pendukung, simpatisan, orang-orang yang netral, dan ‘orang lapangan’ pada saat yang sama. Tetapi pada saat itu saya memposisikan diri sebagai orang sedang menunggu partner dan momen yang tepat untuk kembali terlibat dalam ‘eksperimen menghidupkan jihad’, karena saat itu saya bukan dalam rangka merekrut personel tetapi sekedar ingin memetakan potensi ummat. Sehingga ketika misalnya saya tidak sreg dengan kecerobohan seorang pemain lapangan, saya bisa menjaga jarak dengan orang tersebut tetapi tetap mengikuti perkembangan proyek ‘eksperimen menghidupkan jihad’ yang ia lakukan.

(Bersambung, In sya Allah)

Komentar

Tulis Komentar