Menjadi Teroris Itu Karena Berbakat atau Berminat? (1)

Analisa

by Arif Budi Setyawan

Selama ini saya penasaran, kenapa dalam menentukan jenis pekerjaan atau bisnis yang cocok ditekuni oleh seseorang dilakukan tes minat dan bakat? Menurut saya, kedua hal itu adalah sama. Tapi ternyata setelah beberapa waktu yang lalu saya sempatkan untuk mencari tahu arti dari kata minat dan bakat di internet, itu merupakan dua kata yang berbeda maknanya dalam ilmu psikologi.


Saya sempat kesasar ke sebuah situs yang membahas tentang istilah-istilah dalam ilmu psikologi. Menurut penjelasan dalam situs tersebut, kurang lebihnya definisi bakat adalah potensi alamiah yang dimiliki seseorang sejak lahir. Misal; bakat di bidang olahraga, seni, menulis, keterampilan, berhitung, dll.


Sedangkan minat adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu yang tumbuh dan berkembang setelah mengalami suatu proses. Seseorang akan berminat terhadap sesuatu karena merasa tertarik setelah mendapat gambaran positif, misalnya melihat ada banyak manfaatnya bagi diri sendiri maupun orang lain.


Dari definisi yang saya pahami di atas, saya lalu menyimpulkan bahwa tidak ada orang yang berbakat jadi penjahat, yang ada adalah orang yang berminat jadi penjahat. Karena saya adalah eks napi kasus ‘terorisme’, maka saya kemudian tertarik untuk menyampaikan kepada khalayak bahwa tidak ada orang yang berbakat jadi ‘teroris’, tetapi yang ada adalah orang yang berminat jadi ‘teroris’.


Lho iya, jadi ‘teroris’ itu bukan karena ada bakat, tapi muncul karena cara pandang terhadap solusi dari sebuah persoalan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti pendidikan dan pengajaran yang diterima, kultur lingkungan, dan cara berfikir seseorang. Itu artinya menjadi ‘teroris’ itu karena ada minat. Dan minat itu tidak akan berkembang jika tidak mendapat kesempatan.


Barangkali negara ini bisa belajar dari Malaysia dan Singapura yang memang sangat ketat mengawasi dan mengantisipasi potensi berkembangnya minat menjadi ‘teroris’ itu.


Seseorang yang telah mengetahui dan menyadari bahwa setiap Muslim di muka bumi adalah bersaudara tak peduli jarak atau batas negara yang memisahkan, lalu ketika ia menyaksikan penindasan dan pembantaian yang dialami kaum muslimin, ia juga menerima narasi bahwa dirinya harus ikut memperjuangkan nasib atau membela saudaranya itu dengan harta dan jiwa, di mana berjuang dengan jiwa adalah lebih utama.


Jika narasi berhenti di sini, maka reaksi yang muncul adalah minat untuk memilih salah satu bentuk partisipasi itu yang bisa dilakukannya, yaitu menginfaq-kan hartanya atau terjun langsung ke wilayah yang sedang dilanda persoalan ( ditindas, dibantai, dijajah, dst) itu.


Hal ini pernah terjadi di masa lalu, ketika banyak kaum muslimin yang datang membantu perjuangan saudara-saudaranya yang sedang dilanda konflik dan tragedi kemanusiaan seperti di Afghanistan (dekade 80-an), Bosnia ( awal dekade 90-an), atau di Ambon dan Poso di awal 2000-an.


Namun, di kemudian hari narasi itu berkembang menjadi ajakan untuk menghukum para pelaku penindasan dan pembantaian terhadap kaum muslimin itu. Karena faktanya umat Islam masih menjadi korban kekejaman dari ‘kebijakan’ negara-negara adidaya seperti: embargo Irak yang dipelopori oleh Amerika yang mengakibatkan jutaan warga Irak terutama anak-anak mati karena kelaparan, dukungan Amerika dan sekutunya terhadap agresor Israel yang menjarah dan membunuhi warga Palestina, dst.


Narasi ini akhirnya melahirkan minat terhadap aksi-aksi ‘penghukuman’ terhadap Amerika dan sekutunya yang dimulai dengan serangan terhadap simbol-simbol kepentingan Amerika, di mana serangan terdahsyat adalah serangan terhadap Menara Kembar WTC di New York.


Lalu setelah Amerika mengeluarkan ‘resolusi perang’ melawan terorisme – yang mana George W. Bush Jr sempat terpeleset bahwa perang melawan teror itu adalah perang salib, dan resolusi ini kemudian didukung oleh negara-negara sekutu Amerika-, hal ini seakan menjadi dalil dibolehkannya serangan-serangan terhadap kepentingan Amerika dan sekutunya di seluruh penjuru dunia.


Dan selanjutnya kita semua kemudian menyaksikan berbagai aksi ‘pembelaan sekaligus penghukuman’ terhadap Amerika dan sekutunya ini di berbagai belahan bumi, termasuk beberapa di antaranya terjadi di Indonesia.


Di Indonesia, akhir-akhir ini narasi seruan untuk menghukum ini oleh sekelompok orang-orang yang terbuai oleh ‘dongeng indah ISIS’ lalu diperkuat dengan narasi tentang kondisi serba sulit yang dihadapi umat Islam di Indonesia yang disebabkan oleh perilaku rezim yang lebih menguntungkan orang asing daripada kaum muslimin, sehingga rezim ini juga perlu dihukum.


Lebih jauh lagi, kelompok ini juga berkesimpulan bahwa rezim ini adalah musuh tauhid karena tidak memberlakukan hukum Islam dan lebih tunduk pada hukum buatan manusia, yang oleh karenanya boleh diperangi. Terlebih lagi rezim ini terang-terangan menjadikan ISIS yang mereka agung-agungkan sebagai musuh utama.


Hal ini menimbulkan minat dari mereka untuk menghukum rezim ini. Tetapi karena keterbatasan kemampuan, mereka kemudian menyerang simbol negara yang terlemah, yaitu aparat kepolisian yang sedang lengah di jalanan. Apalagi ditambah dengan provokasi dari jaringan ISIS di seluruh dunia yang terhubung melalui teknologi internet dengan media sosial dan layanan messenger-nya, mereka ini akan mudah untuk memiliki minat terhadap tindakan ‘terorisme’.


Jadi, dalam tindak pidana ‘terorisme’ yang terjadi di indonesia ini saya sepakat dengan perkataan Bang Napi, “ Kejahatan itu terjadi tidak hanya karena adanya niat dari pelaku, tetapi juga karena adanya kesempatan. Jadi waspadalah dan waspadalah”.


(Bersambung)


sumber ilustrasi: Pixabay.com

Komentar

Tulis Komentar