Tinjauan Hukum Dalam Repatriasi WNI Eks ISIS (7)

Analisa

by Arif Budi Setyawan Editor by ABS

Korban kekerasan terhadap anak memang menjadi sorotan utama dunia internasional terlebih sekali anak-anak yang menjadi korban kekerasan di daerah konflik. Melihat pada konvensi tentang hak-hak anak, dijelaskan “anak” sebagai setiap manusia dibawah 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum yang berlaku bagi anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.

Dijelaskan juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa“Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dalam hal ini memang adanya suatu hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang seharusnya dijamin oleh negara. Di sisi lain apakah seorang anak yang menjadi korban atas tindakan orang tua yang meninggalkan NKRI dan bergabung dengan ISIS, lantas juga ditolak untuk kembali ke Indoneisa.

Pemulangan atau penolakan anak-anak eks ISIS oleh pemerintah Indonesia bisa saja dilakukan namun pasti ada konsekuensi dari pilihan tersebut. Jika saja pemerintah memutuskan untuk menolak anak-anak eks ISIS ini, mungkin saja akan menimbulkan konflik dengan negara lain yang akhirnya terpaksa menampung mereka.

Selain itu anak-anak juga bisa mempunyai rasa dendam kepada pemerintah Indonesia dan pada akhirnya setelah mereka dewasa menjadi ancaman radikalisme yang berujung teror bagi NKRI di masa mendatang. Namun sebaliknya, jika anak-anak eks ISIS ini dipulangkan ke Indonesia akan membutuhkan waktu yang lama dan harus melalui proses asesmen sangat ketat karena harus melihat seberapa pemahaman ideologi radikal yang diterima seorang anak yang sudah tertanam dalam otak dalam waktu yang cukup lama.

Karena itu, pemerintah harus siap menerima konsekuensi yang mungkin saja terjadi. Sebelum itu, pemerintah juga harus mengidentifikasi terlebih dahulu terhadap anak-anak yang akan dipulangkan karena penyebaran dan ketiadaan identitas menjadi tugas yang sulit dilakukan.

Anak-anak korban kekerasan di daerah konflik ataupun anak-anak yang sudah faham akan idelogi radikal serta mereka yang sudah diberikan pelatihan mengangkat senjata perlu adanya pelayanan kesehatan yang memadai, baik itu secara fisik maupun mental untuk mengintervensi psikolgi anak-anak eks ISIS tersebut. Hal yang terpenting adalah deradikalisasi terhadap anak- anak tersebut, sosialisasi tentang ideologi NKRI bahkan dukungan masyarakat agar menerima anak-anak eks ISIS dilingkungan sekitar. Hal ini karena mereka dapat dipandang dengan prasangka yang buruk tak terkecuali jika mereka bergaul dengan teman sebayanya mungkin saja mereka dianggap sebagai penyebar virus radikal.

Persoalan hilangnya status kewarganegaraan WNI eks ISIS yang berujung atas ketidakpastian pemulangan kembali ke tanah air merupakam hal yang tidak mudah untuk diputuskan. Karena dalam hal ini, HAM sebagai perlindungan hak menjadi hal yang sangat fundamental dalam mengambil keputusan tersebut.

Dengan keterkaitanya HAM yang sangat erat pada nilai-nilai kemanusiaan, maka hilangnya hak untuk kembali ke Indonesia berorientasi pada perlindungan HAM yang tindakanya mengarah pada ide individualisasi pidana. Serta dianutnya asas culpabilitas yang menjadi suatu konsep bahwa tidaklah manusiawi jika penjatuhan pidana diberikan terhadap orang yang tidak bersalah.

Melihat kebijakan dari negara lain atas pemulangan WNI eks ISIS ini seperti Rusia, Inggris dan beberapa negara-negara lainya membuka pintu bagi anak- anak (BBC.com). Namun di satu sisi, banyak negara yang tidak mengijinkan perempuan untuk kembali pulang ke negara asal. Hal ini yang menjadi masalah bagaimana atas kelangsungan hidup mereka jika anak-anak eks ISIS ini berhasil dipulangkan, akankah adanya orang tua pengganti atau jaminan keselamatan dan kelangsungan hidup mereka sampai tumbuh dewasa.

Karena kasus ini cukup rumit jika dilihat dari beberapa kasus mengenai paparan radikal yang diterima oleh seorang perempuan mungkin lebih kuat dari laki-laki. Hal ini karena perempuan lebih menanamkan kepercayaan jika mereka mati syahid akan mendapatkan surga di akhirat. (BBC.com)

Salah satu contoh kasus bom bunuh diri di gereja Surabaya dilakukan oleh satu keluarga dimana ada seorang ayah, ibu dan empat anak-anaknya. Dalam hal ini perempuan meletakkan dirinya sebagai pihak pendukung. Tentu saja peran itu sangat penting seperti halnya mereka menguatkan suaminya untuk berjihad dengan ikut ISIS yang mengatasnamakan syahid akan membawa mereka ke surga. (Kompas.com)

Masalah-masalah seperti inilah yang menjadi pertanyaan apakah seorang perempuan dalam tindakan teorisme hanya menjadi korban atau mungkin ikut andil dalam tidakan tersebut meski mereka sendiri belum atau tidak terlibat dalam aksi kekerasan.

(Diolah dari berbagai sumber)

Komentar

Tulis Komentar