Bertikai Atau Hidup Berdampingan?

Other

by Boaz Simanjuntak

Saya tertarik dengan judul dari salah satu bab dalam buku “Who Speaks for Islam?” karya John L.Esposito dan Dalia Mogahed yang sangat relevan dengan kondisi di tanah air, sama seperti judul di atas. Sejak masuk masa kampanye pemilihan umum (pemilu) 2019 hingga pasca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa hasil pemilu, ada saja berita mengenai konflik, kekerasan, dan terorisme. Sebuah pertanyaan besar terbersit, sampai kapan mau ribut terus? Saya tidak sedang membahas preferensi politik, tetapi gelisah karena kegaduhan dalam kehidupan sosial politik Indonesia seperti belum berhenti. Memperjuangkan sesuatu dengan cara kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan menambah masalah. Lihat saja “Aksi Kamisan” di depan istana kepresidenan yang dilakukan para pencari keadilan dengan cara damai. Belum berhasil sampai sekarang apa yang mereka cari. Mereka menggunakan cara kekerasan? Tidak! Karena mereka sadar bahwa kekerasan akan selalu melahirkan kekerasan jika tidak diakhiri. Lalu, apa yang harus dilakukan?

Dunia ini sekarang tidak lebih aman. Sumber utamanya konflik dan kekerasan. Rasa ketidakadilan, tidak sepaham secara ideologi, atau pernah mengalami tindakan kekerasan, adalah contoh-contoh yang mampu membentuk konflik dan kekerasan baru. Proses peningkatan kadar kekerasan biasanya melalui proses. Pola IRET (Intoleran-Radikal-Ekstrim-Teroris) akan nampak terjadi saat mengkaji mengapa seseorang mau melakukan tindak kekerasan? Survei yang dilakukan oleh Alvara di tahun 2017 menunjukkan 29,6% pekerja kantoran setuju “Negara Islam” wajib diperjuangkan untuk Indonesia dan 19,6% pekerja kantoran menyetujui jihad dengan kekerasan. Pasca serangan teroris 11 September, persepsi tentang Islam oleh kelompok Kristen Kanan di Amerika Serikat berujung pada hujatan. Franklin Graham, putra dan penerus pendeta Billy Graham, menyatakan Islam sebagai “agama yang sangat jahat dan sangat buruk”. Di Indonesia terjadi karena perpaduan gairah beragama (puritan) dan berseberangan secara politik. Di Amerika Serikat terjadi karena perpaduan takut kehilangan identitas lokal, narasi media, dan mispersepsi terhadap yang berbeda. Retak sudah istilah “Bhinneka Tunggal Ika” dan “E Pluribus Unum” dalam konteks hidup berdampingan di tanah yang sama.

Seperti penyakit menular, kebencian terhadap yang berbeda di Amerika Serikat, juga terjadi di Indonesia. Ini semua dampak globalisasi. Karena globalisasi bukan hanya tentang apa yang terjadi “di luar sana”, terpisah batas negara, dan jauh dari orang per orang. Tetapi, globalisasi juga merupakan fenomena “disini”, yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan kita secara pribadi. Sebagai contoh soal penyebaran pesan kebencian di media sosial atau grup aplikasi percakapan. Contoh tersebut adalah yang dipakai di dunia. Jika penahannya tidak berfungsi dengan baik, maka akan mempengaruhi pikiran dan keputusan pribadi. Penahannya adalah relasi sosial yang beragam, tidak hanya dari kelompok yang sama. Dengan siapa kita bergaul dan apa yang kita dapat dari pergaulan, akan berdampak pada penerimaan. Jika yang kita pilih adalah hidup berdampingan dengan yang berbeda, maka hasilnya adalah inklusi sosial. Dampak dari inklusi sosial adalah kemampuan menerima cara pandang, kebiasaan, dan budaya yang beragam sehingga terbentuk komunikasi yang baik antar yang berbeda.

Mengutip filsuf Jerman, Nietzsche: “der irrtum aus tierren menschen gemacht” (kekeliruanlah yang membuat hewan menjadi manusia, karena hewan tak bisa khilaf, sedangkan manusia sering keliru). Semua orang berpotensi melakukan kesalahan, kontrol diperlukan untuk memperkecil kesalahan yang mungkin dilakukan. Jika kita adalah bagian dari masyarakat yang memilih hidup berdampingan maka kontrol dalam bentuk rasa peduli terhadap sesama harus selalu aktif. Peran serta mencegah kesalahan dalam bentuk kejahatan seperti terorisme, bisa dilakukan oleh publik. Misalnya, meredam konflik dengan dialog bukan perdebatan. Saya sedang membayangkan “Indonesia Tanpa Kekerasan”, mudah-mudahan tidak jadi utopia.

Foto: Deskwasbang Polkam

Komentar

Tulis Komentar