Trauma Anak Korban Perang dan Konflik

Other

by nurdhania

Anak-anak selalu menjadi korban kekejaman dari peperangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Peperangan itu bisa saja bermula dari keegoisan penguasa, konflik dalam suatu wilayah yang memicu perang saudara berkepanjangan, hingga perampasan wilayah yang merenggut kemerdekaan suatu bangsa atau masyarakat.

Apapun bentuknya, peperangan telah merenggut kesempatan anak-anak untuk belajar dan menggapai cita-citanya. Banyak diantara mereka yang harus menghadapi kenyataan bahwa masa depannya telah hancur. Konflik berdarah juga merenggut lebih dari separuh kehidupan dan hak dari anak-anak ini. Mereka kesulitan untuk bermain dengan teman-temannya, bereksplorasi, atau bertemu dengan keluarga. Ditambah lagi dengan hilangnya hak atas kesehatan yang memadai, hak mengembangkan diri, dan hak untuk diasuh dan dijaga.

Dalam sebuah pemberitaan di media Inggris, BBC, Direktur UNICEF, Manuel Fontaine, mengatakan bahwa anak-anak menjadi sasaran serangan di rumah mereka, sekolah, maupun tempat bermain. Laporan UNICEF secara rinci menyebutkan tentang penderitaan yang dialami anak-anak di wilayah perang. Beberapa contoh penderitaan yang dialami anak-anak yaitu sebagai berikut :

  • Di Republik Afrika Tengah (CAR), anak-anak dibunuh, diperkosa, diculik, dan direkrut oleh kelompok-kelompok bersenjata.

  • Kelompok militan Islam Boko Haram memaksa sedikitnya 135 anak di Nigeria dan Kamerun untuk menjadi pengebom bunuh diri. Jumlah ini meningkat hampir lima kali lipat dibanding tahun 2016.

  • Anak-anak Muslim Rohingya di Myanmar mengalami kekerasan dan pengusiran dari tempat tinggalnya di Negara Bagian Rakhine.

  • Di Sudan Selatan, lebih dari 19.000 anak-anak direkrut ke dalam angkatan bersenjata maupun kelompok-kelompok militan bersenjata.

  • Perang di Yaman menyebabkan lebih 5.000 anak meninggal dan cedera.

  • Di Ukraina Timur, 220.000 anak hidup harus dihidup dibawah bayang-bayang sisa perang masa lalu, seperti ranjau-ranjau yang masih tertanam dan senjata-senjata peledak yang lain.


Diantara deretan fakta-fakta itu, kita tidak dapat melupakan nasib anak-anak di Palestina. Pada usianya yang masih muda, mereka harus menanggung beban berat, baik fisik maupun psikis dari konflik berkepanjangan.
Kerentanan Post Traumatic Stress Disorder

Karena tekanan yang sangat besar di wilayah konflik, anak-anak ini sangat rentan menderita PTSD ( Post Traumatic Stress Disorder ) atau gangguan stress pasca trauma. Sebuah buku berjudul Trauma dan Pemulihannya “Suatu Kajian Berdasarkan Kasus Pasca Konflik dan Tsunami” karya DR. Kusmawati Hatta, M.PD memberikan banyak penjelasan soal trauma ini.

Pada satu bagian dalam buku itu, Cavanagh dalam Mental Health Channel, mendefinisikan trauma sebagai suatu peristiwa yang luar biasa, yang menimbulkan luka atau perasaan sakit: namun juga sering diartikan sebagai suatu luka atau perasaan sakit “berat” akibat suatu kejadian “luar bisa” yang menimpa seseorang, secara langsung maupun tidak langsung, baik luka fisik maupun psikis atau kombinasi dari keduanya.

Peristiwa berat itu dapat berupa perang, terjadi perkosaan, kematian akibat kekerasan pada orang-orang tercinta, dan juga bencana alam seperti gempa dan tsunami. Gangguan pasca trauma (PTSD) bisa dialami segera setelah peristiwa traumatis terjadi. Munculnya trauma ini juga bisa tertunda sampai beberapa tahun sesudahnya.

Secara detail, buku yang saya baca itu menjelaskan bahwa korban PTSD biasanya mengeluh tegang, insomnia (sulit tidur), sulit berkonsentrasi dan ia merasa ada yang mengatur hidupnya, bahkan yang bersangkutan kehilangan makna hidupnya. Lebih parah lagi, orang yang mengalami gangguan pasca trauma (PTSD) berada pada keadaan stress yang berkepanjangan. hal ini kemudian dapat berakibat pada munculnya gangguan otak, berkurangnya kemampuan intelektual, gangguan emosional, maupun gangguan kemampuan sosial.

Berkaca pada pengalaman saya, dapat kembali pulang ke Indonesia dengan selamat bukan berarti saya tidak memiliki catatan trauma. Hampir dua tahun saya bertahan hidup di Suriah, suara ledakan, gemuruh, dan suara pesawat membuat saya sangat ketakutan. Bagaimana tidak, setiap hari suara pesawat tanpa awak, jet tempur, helikopter terus menerus terdengar. Bahkan, suara-suara itu kemudian disusul dengan ledakan besar. Kondisi ini membuat saya sering terdiam kaku, ketakutan. Selain itu, ketika saya dan keluarga melarikan diri ke tempat yang aman, desingan peluru dari sniper yang terasa sangat dekat sekali membuat saya dan keluarga selalu dihantui ketakutan.

Beragam kejadian traumatik yang saya alami ini membuat saya tidak bisa membayangkan bagaimana dengan anak-anak di wilayah konflik yang bertahun-tahun harus mengalami kejadian berat. Mereka tidak tahu apakah esok hari dapat bertemu dengan teman dan keluarganya lagi. Pilihan untuk kabur dan menyelematkan diri bukan hal yang mudah. Seperti di wilayah Suriah misalnya. Untuk dapat melarikan diri ke tempat yang lebih aman, dibutuhkan uang yang banyak. Bukan hanya untuk membayar penyelundup untuk dapat berkelit dari medan ranjau, tetapi juga untuk memulai hidup baru di wilayah baru.
Save The Children

Save The children, salah satu NGO yang bekerja untuk membantu anak-anak korban perang di suriah, pernah menyebutkan bahwa anak-anak di wilayah konflik (khususnya Suriah) banyak menderita masalah kesehatan emosional yang parah dan tidak mendapat dukungan psikologis yang cukup. Hal ini terjadi karena orang tua mereka juga berada dalam kesulitan.Anak-anak ini dilaporkan mengalami kesulitan untuk tidur, menjadi penyendiri dengan kecenderungan ingin bunuh diri. Terdapat juga anak-anak yang kehilangan kemampuan untuk berbicara.

Jika anak-anak yang menderita trauma ini tidak mendapatkan perawatan emosional. Maka trauma itu akan menimbulkan sejumlah dampak, salah satunya adalah kegagalan pada perkembangan otaknya. Selain itu, anak-anak ini akan berisiko besar terkena penyakit depresi dan jantung ketika dewasa.

Save the Children mencatat bahwa saat ini anak-anak di Suriah berkembang menjadi lebih agresif. Mereka menunjukkan gejala gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Bentuk keagresifan ini pernah saya alami ketika masih berada di tenda pengungsian. Saya melihat secara langsung anak-anak ini. Anak-anak korban konflik tersebut cenderung sulit diatur, suka membuat keributan, beberapa bahkan ada yang melempari tenda saya dengan batu. Terkadang mereka juga keras terhadap teman atau sesama mereka. Sehingga tidak mengherankan jika sering terjadi perkelahian.

Setelah mempelajari lebih detail soal PTSD ini saya justru menjadi kasihan dengan mereka. Saya tidak bisa seenaknya menghakimi tindakan nakal itu. Sebab, bertahun-tahun mereka mengalami tekanan karena konflik. Seperti, kehilangan keluarga, teman, rumah, ataupun tidak bisa sekolah dan tidak mendapat asupan makanan yang bergizi. Maka, saya pun perlahan memaklumi mereka. Saya bersyukur mendapatkan kesempatan berbincang secara langsung dengan beberapa dari mereka. Hal ini semakin membuka mata saya dan menjadi pengingat agar tidak mudah terbawa emosi.

Semoga perang di seluruh dunia segera berakhir. Sehingga setiap anak segera mendapatkan hak hidupnya dan hak-haknya yang lain. Selain itu, agar mereka segera mendapatkan kesembuhan fisik dan psikis sesegera mungkin. Saya juga berharap pada organisasi atau lembaga di dunia yang menangani anak-anak untuk dapat memberikan perlindungan penuh pada anak-anak ini.

Komentar

Tulis Komentar